Penghapusan Joko Tjandra dari DPO Terindikasi Suap
Bareskrim Polri meningkatkan kasus penghapusan Joko Tjandra, terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali, dari daftar ”red notice” ke tahap penyidikan. Namun, belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri meningkatkan kasus penghapusan Joko Tjandra, terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali, dari daftar pencarian orang atau red notice ke tahap penyidikan. Terindikasi ada penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara terkait penghapusan tersebut.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono saat jumpa pers, Kamis (6/8/2020), mengatakan, peningkatan ke tahap penyidikan dilakukan setelah polisi memeriksa 15 saksi.
Selain itu, polisi sudah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menelusuri aliran dana tersebut.
”Konstruksi hukum terhadap tindak pidana yang dipersangkakan, yaitu dugaan penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara terkait pengurusan penghapusan red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra, yang terjadi sekitar Mei 2020 hingga Juni 2020,” ujar Argo.
Sekalipun sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan, ia melanjutkan, belum ada tersangka dalam kasus ini.
Terhapusnya Joko Tjandra dari red notice terungkap setelah ia leluasa keluar dan masuk Indonesia sekalipun berstatus buron, Juni lalu, sebelum ditangkap Bareskrim Polri, pekan lalu.
Dalam skandal red notice ini, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis mencopot Irjen Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dan Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo dari Sekretaris NCB Interpol Indonesia karena diduga melanggar kode etik.
Bersamaan dengan mencuatnya kasus ini ke publik, beberapa waktu lalu, terungkap ada surat dari Nugroho kepada Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerangkan penghapusan red notice Interpol Joko Tjandra sejak 2014. Surat tertanggal 5 Mei 2020.
Surat itu turut menyebutkan yang menjadi rujukan antara lain surat Anna Boentaran, istri Joko Tjandra, tertanggal 16 April 2020 perihal permohonan pencabutan red notice Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra. Rujukan lain adalah surat Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri tanggal 29 April 2020 perihal penyampaian informasi pembaruan data serta hasil koordinasi dengan Sekretariat Umum Interpol (IPSG) terhadap red notice Joko Tjandra pada 22 April 2020.
Di tempat terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyerahkan sejumlah dokumen kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk membantu mereka dalam mendalami dugaan korupsi dari pertemuan antara Pinangki Sirna Malasari, jaksa di Kejagung, dengan Joko Tjandra saat masih buron.
Dokumen yang diserahkan berupa dokumen perjalanan Pinangki untuk bertemu Joko Tjandra di Malaysia. Pertama, dokumen perjalanan tanggal 12 November 2019 dari Singapura ke Kuala Lumpur, dan kedua, dokumen perjalanan Jakarta-Kuala Lumpur, 25 November 2019. Pada perjalanan kedua, Pinangki pergi dengan Anita Kolopaking, kuasa hukum Joko Tjandra.
”Dalam rangkaian perjalanan ini, justru Pinangki yang membiayai perjalanan Anita tersebut,” kata Boyamin.
Berdasarkan hal itu, Boyamin menduga ada janji atau pamrih yang dijanjikan kepada Pinangki dari Joko. Jika memang benar demikian, patut diduga terdapat unsur gratifikasi atau suap.
Selain itu, Boyamin menyampaikan kepada tim penyidik Jampidsus tentang adanya saksi yang mengetahui adanya aliran dana sebesar 500.000 dollar dalam perkara Joko.