Kementerian Pertahanan Diminta Tidak Beli Alutsista Bekas
Kementerian Pertahanan diminta untuk tidak membeli persenjataan bekas untuk TNI. Pertimbangan pertama keselamatan prajurit TNI serta mahalnya pemeliharaan. Selain itu, kurangnya transfer teknologi dan efek gentar.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan atas rencana pembelian pesawat jet tempur bekas Eurofighter Typhoon oleh Kementerian Pertahanan terus menguat. Kementerian Pertahanan diminta untuk tidak membeli persenjataan bekas untuk TNI. Pertimbangan pertama keselamatan prajurit TNI serta mahalnya pemeliharaan. Selain itu, kurangnya transfer teknologi dan efek gentar.
”Ada beberapa pengalaman buruk Indonesia membeli alutsista bekas,” kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Diandra Megaputri Mengko, dalam diskusi daring yang diselenggarakan LIPI dan Imparsial, Senin (27/7/2020).
Dalam diskusi berjudul ”Problem Modernisasi Alutsista Indonesia: Rencana Pembelian Eurofighter Typhoon” itu, Diandra mengatakan pengalaman buruk Indonesia saat membeli atau mendapatkan hibah alutsista adalah adanya biaya perbaikan yang sangat tinggi.
”Ini terjadi saat kita membeli F16 dari AS sebanyak 25 buah,” kata Diandra.
Pesawat-pesawat tempur itu sempat mengalami beberapa kecelakaan seerpti gagal tinggal landas dan terbakar. Hasil evaluasi dari insiden-insiden itu adalah Indonesia berkomitmen tidak lagi akan mengambil persenjataan bekas dari negara lain. Apa pun skemanya.
”Menurut saya sebaiknya Kementerian Pertahanan mengkaji lagi pembelian Typhoon bekas dari Austria itu,” kata Diandra.
Diandra mengatakan, secara langsung pembelian alutsista bekas akan meningkatkan risiko terhadap para prajurit TNI. Di sisi lain, ada masalah interoperabilitas dan transfer teknologi karena Austria bukan negara produsen Typhoon. ”Jadi kita harus pikirkan juga soal kualitas, bukan hanya kuantitas,” tambahnya.
Masalah interoperabilitas ini juga digarisbawahi oleh Anton Aliabbas dari Paramadina Graduate School of Diplomacy.
Anton mengatakan, perlu ada perencanaan yang lebih matang dalam pengadaan persenjataan. Terlalu banyak jenis pesawat tempur atau merek yang dioperasikan TNI AU akan berkonsekuensi pada biaya, tidak saja perawatan tetapi juga operasional dan latihan.
Padahal, saat ini pun modernisasi terkendala oleh biaya di mana anggaran pertahanan yang telah naik 250 persen sejak 2010, sebenarnya pada tahun 2017 hanya 15,98 persen yang digunakan untuk modernisasi persenjataan. ”Tahun 2018 malah turun lagi hingga 9,23 persen,” kata Anton.
Ia pun berharap agar Kementerian Pertahanan lebih transparan menjelaskan hal ini. Tidak saja dari sisi nilai kontrak, tetapi bagaimana Kementerian Pertahanan akan memenuhi Undang-Undang Industri Pertahanan yang mensyarakatkan 85 persen dari nilai kontrak harus kembali dalam bentuk imbal dagang, offset, dan transfer teknologi.
Senada dengan Anton, anggota Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin mengatakan, saat ini sudah ada perkembangan industri pertahanan sebagaimana tujuan bangsa untuk menjadikan Indonesia mandiri. Memang dibutuhkan kesabaran untuk membangun industri pertahanan. Akan tetapi, ia yakin industri pertahanan akan membuahkan hasil.
Ia berharap agar Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak membuat kebijakan yang tidak sejalan dengan rencana jangka panjang pembangunan kekuatan TNI dan industri pertahanan.
”Jangan sampai menghilangkan yang sudah dilakukan selama ini,” katanya.
Kebutuhan akan transparansi dari Kementerian Pertahanan juga disinggung Adnan Topan Husodo selaku Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Gufron Mabruri sebagai Wakil Direktur Imparsial.
Adnan mengatakan, pengadaan alutsista perlu terbuka pada diskusi publik. Pembangunan sistem pertahanan yang merupakan aspek strategis tidak bisa dilakukan secara tertutup. Sementara Gufron menggarisbawahi bahwa di dalam negara demokrasi, suara publik didengar. Apalagi, publik ingin melindungi dan memperkuat TNI daripada selalu menjadi korban dari pengadaan alutsista di bawah standar dan korupsi yang merajalela.