Wakil Menhan: Jet Eurofighter Typhoon Masih dalam Kajian
Rencana pembelian pesawat jet tempur bekas Eurofighter Typhoon oleh Kementerian Pertahanan menuai kritik. Wakil Mehan pun angkat suara. Selain proses pembeliannya yang kompleks, rencana pembelian juga masih dalam kajian.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses pembelian persenjataan untuk alat pertahanan merupakan hal yang kompleks. Antara kebutuhan Indonesia untuk memiliki efek gentar di kawasan, kemandirian industri pertahanan, membangun pilot-pilot yang hebat, dan kemampuan keuangan harus dipertimbangkan oleh Kementerian Pertahanan RI.
”Semua masih dalam kajian, termasuk rencana pembelian jet tempur Typhoon dari Austria itu,” kata Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Trenggono, Rabu (22/7/2020), saat dihubungi di Jakarta.
Wahyu mengatakan, saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan diplomasi pertahanan ke negara-negara sahabat, semuanya dilakukan sambil menjajaki kerja sama produksi. Hal yang sama berlaku terkait dengan penjajakan yang dilakukan Prabowo kepada menteri pertahanan Austria sebagaimana disampaikan lewat surat baru-baru ini.
Wahyu Trenggono mengatakan, hal yang pertama harus digarisbawahi dalam membuat strategi pembelian persenjataan adalah perlunya Indonesia memiliki efek gentar di kawasan. Efek gentar ini yang akan membuat Indonesia disegani. Ia mencontohkan, negara-negara tetangga telah memiliki F35B yang merupakan spesifikasi tertinggi dari pesawat tempur F35, sementara Indonesia jauh tertinggal.
Semua masih dalam kajian, termasuk rencana pembelian jet tempur Typhoon dari Austria itu.
Memang ada cara lain untuk meningkatkan kemampuan pesawat tempur, yaitu refurbishment, perbaikan besar-besaran. Akan tetapi, selain membutuhkan waktu satu hingga dua tahun, hasilnya juga tidak akan bisa mengejar kecanggihan pesawat tempur yang memang lebih baru dan lebih maju teknologinya. ”Padahal, kita punya negara ini sangat besar wilayahnya yang harus dijaga, terbang dari ujung ke ujung bisa sampai 8 jam lamanya,” kata Wahyu.
Oleh karena itu, persenjataan harus diperbarui terus mengikuti perkembangan bentuk perang. ”Tapi juga kita harus membangun kemampuan sendiri dalam membuat persenjataan. Jadi, lawan tidak bisa mendeteksi kemampuan kita,” ujar Wahyu lagi.
Terkait kebutuhan pesawat tempur, Wahyu mengatakan, kalau Indonesia ingin membeli baru, kira-kira masih beberapa tahun lagi pesawatnya akan datang. Padahal, saat ini sudah ada kebutuhan pesawat tempur mengingat beberapa pesawat tempur sudah harus dipensiunkan.
”Makanya, kita butuh pesawat tempur segera untuk sementara memenuhi kebutuhan itu sambil menunggu pesawat tempur yang baru. Namun, ini, kan, masih kajian,” tuturnya.
Menurut dia, Kementerian Pertahanan harus mengambil pilihan sambil menunggu pesawat tempur baru yang baru akan datang beberapa tahun lagi. Padahal, pilot-pilot harus terus dilatih untuk meningkatkan kemampuannya. Jangan sampai ada waktu-waktu yang hilang bagi para pilot tempur yang dari sisi jumlah juga langka.
”Semua faktor ini masih dalam kajian. Kita menimbang-nimbang juga, termasuk soal transfer teknologi, imbal dagang, offset, dan semuanya. Selama saya masih di Kemhan, saya pribadi juga akan memperjuangkan itu,” tutur Wahyu lagi.
Jangan bekas
Terkait dengan rencana pembelian pesawat tempur bekas dari Austria tersebut, kritik pun datang. Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, ide membeli 15 pesawat tempur Thyphoon bekas dari Austria ini berpotensi menimbulkan masalah baru di masa yang akan datang.
Ide akan mengulangi kesalahan di masa lalu, di antaranya alutsista bekas yang menimbulkan masalah akuntabilitas anggaran pertahanan. ”Lebih berbahaya lagi adalah penggunaannya oleh prajurit TNI yang akan menghadapi risiko terjadinya kecelakaan jika pesawat bekas,” kata Al Araf.
Ia menggarisbawahi, upaya modernisasi alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan Indonesia merupakan langkah penting dan harus didukung. Namun, perlu dilengkapi oleh alutsista militer yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia.
Upaya itu harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri.
Al Araf mengatakan, pihaknya memandang rencana pembelian pesawat tempur bekas Eurofighter Typhoon berpotensi terjadi penyimpangan akibat tidak adanya standar harga yang pasti. Pesawat itu bahkan tersangkut isu dugaan suap dan kritik tajam di dalam negeri Austria sendiri.
DPR dan pemerintah sudah berkomitmen kita tidak lagi akan beli pesawat bekas.
Pada 2017, Pemerintah Austria melayangkan gugatan kepada Airbus ke Pengadilan Munich, Jerman, atas dugaan suap yang dilakukan perusahaan pembuat pesawat tempur Eurofighter Typhoon ini kepada pejabat Austria. Pemerintah Austria menyatakan terdapat kerugian sebesar 1,7 juta dollar AS dari total kontrak pembelian sebesar USD 2,4 milliar.
Kasus ini berakhir dengan adanya kewajiban Airbus untuk membayar denda sebesar 99 juta dollar AS. Tidak hanya itu, Airbus juga disebutkan masih menghadapi proses hukum berkait dengan dugaan penipuan dan korupsi di Pengadilan Austria. ”Oleh karena itu, kami dorong agar pembelian pesawat Typhoon ini dibatalkan,” kata Al Araf.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, juga mengatakan, Kemenhan harus menghentikan rencana pembelian pesawat bekas itu. Tubagus mengacu pada UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Di UU itu disebutkan tentang perlunya ada klausul tentang transfer teknologi, offset, dan imbal dagang. Hal-hal ini sulit dimungkinkan jika Indonesia membeli persenjataan bekas. ”DPR dan pemerintah sudah berkomitmen kita tidak lagi akan beli pesawat bekas,” kata Hasanuddin.
Pertimbangan lain, jika membeli pesawat bekas, tambah Hasanuddin, adalah masalah tahun hidup, suku cadang, dan pemeliharaan. Dia mengatakan, sampai saat ini program pengadaan pesawat tempur yang telah disetujui DPR adalah pengadaan Sukhoi-35 dan kerja sama dengan Korea Selatan membuat pesawat tempur generasi keempat KFX.