Politik kekerabatan di Pilkada 2020 kembali muncul. Di beberapa daerah, dinasti politik lokal berhadapan dengan kerabat pejabat nasional.
Oleh
Rini Kustiasih dan Anita Yossihara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seperti halnya tiga gelombang pilkada terdahulu, Pilkada 2020 juga diramaikan kehadiran bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masih berkerabat dengan pejabat dan tokoh politik, baik lokal maupun nasional. Hal ini dinilai seolah menjadikan pilkada sebagai musim semi kapitalisasi kekuatan politik kekerabatan. Kuatnya politik kekerabatan bisa menghasilkan relasi kuasa dan kompetisi tak seimbang.
Berdasarkan catatan Kompas, kerabat tokoh politik nasional yang sudah mendapat lampu hijau pencalonan dari partai politik misalnya Gibran Rakabuming Raka (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P), putra Presiden Joko Widodo, sebagai bakal calon wali kota Solo; Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Gerindra), sebagai bakal calon wakil wali kota Tangerang Selatan; serta Siti Nur Azizah (Demokrat), putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, sebagai bakal calon wali kota Tangsel.
Selain itu, ada Hanindhito Himawan Pramana (PDI-P), putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, sebagai bakal calon bupati Kediri; Irman Yasin Limpo (Partai Golkar), adik Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sebagai bakal calon wali kota Makassar; serta Titik Masudah (Partai Kebangkitan Bangsa), yang merupakan adik Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menjadi bakal calon wakil bupati Mojokerto.
Selain itu, bermunculan juga nama-nama kerabat tokoh politik lokal. Misalnya, ada Ipuk Fiestiandani, istri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yang mencalonkan diri sebagai bupati, menggantikan suaminya. Di Banten, kerabat bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah juga kembali muncul dalam bursa kontestasi di sejumlah daerah di Banten.
Di Pilkada Tangsel, selain ada nama Saraswati dan Siti Nur Azizah, juga muncul nama Pilar Saga Ichsan yang diusung Partai Golkar sebagai bakal calon wakil wali kota. Pilar adalah anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah yang merupakan adik Ratu Atut Chosiyah. Pilar juga keponakan Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany sekaligus sepupu Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy. Sementara Ratu Tatu kembali maju pada pemilihan bupati Serang.
Di Kabupaten Pandeglang, Bupati Irna Narulita dan Wakil Bupati Tanto Warsono Arban kembali maju bersama di Pilkada 2020. Irna ialah istri mantan Bupati Pandeglang yang kini anggota DPR, A Dimyati Natakusuma. Irna merupakan ibu dari anggota DPR, Rizki Aulia Rahman Natakusuma. Sementara Tanto, suami dari anggota Dewan Perwakilan Daerah Andiara Aprilia Hikmat, merupakan anak Ratu Atut.
Di Kota Cilegon, Ratu Ati Marliati, putri Tubagus Aat Syafaat, Wali Kota Cilegon 2000-2010, diusung Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Gerindra untuk mengikuti Pilkada 2020. Dia kini menjabat Wakil Wali Kota Cilegon. Ratu Ati merupakan kakak Tubagus Iman Ariadi, Wali Kota Cilegon periode 2010-2015 dan kembali terpilih sebagai wali kota periode 2015-2021. Tahun 2017, Iman ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Musim semi
Fenomena politik dinasti, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, hampir berulang mulai dari Pilkada 2015, 2017, 2018, hingga Pilkada 2020. Setiap klan politik berlomba-lomba menempatkan calon mereka dalam kontestasi politik. Hal ini bukan hanya dominasi parpol tertentu karena hampir semua parpol memiliki calon dengan latar belakang tokoh, pejabat, petahana, atau keluarga dengan basis modal politik dan ekonomi besar.
”Pilkada adalah musim semi atau tumbuh suburnya politik kekerabatan. Begitu banyak pos kepala daerah yang diperebutkan petahana, pejabat, dan tokoh untuk menempatkan anak, menantu, keponakan, dan istrinya dalam kekuasaan. Pilkada menjadi semacam kesempatan untuk mengapitalisasi kekuatan politiknya,” ujar Adi.
Sekalipun argumen setiap orang, baik dia kerabat pejabat maupun bukan, kedudukannya sama, dan sama-sama memiliki kesempatan untuk memilih dan dipilih, menurut Adi, harus disadari hal itu menciptakan kontestasi yang tidak setara. Sebab, mereka yang memiliki privilese atau keuntungan dengan modal politik yang dibangun keluarganya akan lebih mudah mendapatkan tiket dalam pencalonan oleh parpol.
Pilkada adalah musim semi atau tumbuh suburnya politik kekerabatan. Begitu banyak pos kepala daerah yang diperebutkan petahana, pejabat, dan tokoh untuk menempatkan anak, menantu, keponakan, dan istrinya dalam kekuasaan.
Menanggapi fenomena politik dinasti, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, pendidikan politik dimulai dari keluarga. Fenomena politik dinasti tidak hanya ditemui di Indonesia. Ia mencontohkan Amerika Serikat memiliki keluarga Bush dan Kennedy yang lekat dengan jejak politik di keluarga mereka. ”Jadi, itu merupakan hal yang sifatnya alamiah dalam kehidupan politik,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, partainya memang mengajukan sejumlah nama yang berlatar belakang kerabat pejabat atau tokoh. Namun, kompetensi dan kemampuan calon juga dilihat. Tak semua calon dengan latar belakang keluarga pejabat atau petahana diberi rekomendasi.
Selain pertimbangan kompetensi dan kiprah yang bersangkutan di dunia politik, penerimaan masyarakat juga menjadi perhitungan. Namun, ia mengakui, nama baik keluarga menentukan akseptabilitas politik calon bersangkutan.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, selama ini politik dinasti tumbuh subur karena proses pencalonan di internal partai yang elitis ditentukan oleh hanya segelintir orang. Skema ini harus dikoreksi. (BRO/WER)