Rencana Pembelian Jet Typhoon Bekas Terus Dipertanyakan
Rencana itu terkesan sekadar untuk membelanjakan anggaran Kementerian Pertahanan tanpa didasarkan pada kebijakan pertahanan negara. Selain itu, pesawat Sukhoi-35 dinilai lebih layak daripada pesawat Typhoon.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembelian pesawat Eurofighter jenis Typhoon bekas oleh Kementerian Pertahanan terus dipertanyakan. Rencana itu terkesan sekadar untuk membelanjakan anggaran Kemenhan tanpa didasarkan pada kebijakan pertahanan negara. Selain itu, pesawat Sukhoi Su-35 dinilai lebih layak daripada pesawat Typhoon.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Willy Aditya, saat dihubungi, Selasa (21/7/2020), mengatakan, penjajakan pembelian pesawat Eurofighter tersebut menjadi sorotan dan mendapat sejumlah catatan dari Komisi I DPR.
Menurut Willy, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) harus dilakukan dengan dasar kebijakan pertahanan negara. Tanpa dasar kebijakan tersebut, pembelian alutsista hanya akan terlihat sebagai belanja serampangan. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum selesai merevisi kebijakan umum pertahanan.
”Membeli alutsista, baik itu pesawat, tank, maupun senjata serbu, itu semua harus ada dasarnya. Apalagi, ini membeli pesawat tempur udara jenis superfighter. Kalau salah, bisa dilihat oleh negara lain kita sedang mengubah strategi defensif menjadi ofensif. Ini bisa menjadi sorotan bagi politik luar negeri kita,” ujar Willy.
Menurut Willy, ada kesan tergesa-gesa dalam pembelanjaan APBN Kemenhan. Pembelian pesawat bekas dari Austria itu dinilai tidak didahului dengan kajian komprehensif, termasuk sistem pertahanan yang akan dibangun.
Belanja alutsista apalagi pesawat tempur seharusnya tidak dilihat seperti belanja rutin lainnya. Itu merupakan belanja strategis sehingga harus berhati-hati dan disesuaikan dengan doktrin pertahanan ataupun politik luar negeri Indonesia. Jika hal itu sudah dilakukan, DPR akan mendukung. Apalagi, jika alutsista itu memang dibutuhkan dalam pertahanan negara.
”Belanja alutsista, termasuk pesawat tempur, tidak bisa hanya dengan alasan peremajaan atau alasan pembinaan trimatra,” kata Willy.
Sebagai mantan komandan Kopassus, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dinilai lebih memahami ancaman pertahanan negara, khususnya di matra darat. Oleh karena itu, Willy berharap sebelum penjajakan dengan negara lain, seharusnya Menhan sudah harus memperkuat dengan kajian strategis pertahanan negara yang komprehensif.
Willy membandingkan dengan Amerika Serikat, yang sudah memiliki Network Centric Warfare (NCW) sebagai doktrin perang agar dapat menyesuaikan dengan kondisi dan perkembangan teknologi informasi.
Lebih lanjut, Willy juga menyoroti bahwa pesawat jet Typhoon Austria sebenarnya sejenis dengan Sukhoi-35. Pembelian pesawat jenis ini sebelumnya sudah disepakati oleh DPR. Untuk pembelian pesawat Sukhoi-35 ini dinilai lebih siap dari sisi sistem perawatan, peralatan, suku cadang, dan kebutuhan. Pembelian pesawat tempur jenis serupa dengan model yang berbeda dinilai tidak efisien dan berpotensi membengkakkan anggaran.
”Kalau beli yang berbeda, maka belanja lainnya untuk perbaikan, perawatan, suku cadang, dan lainnya pun akan berbeda. Dampaknya akan juga berkenaan dengan APBN nantinya. Pak Prabowo harus pikirkan juga hal ini. Lebih baik beli dari model yang sama saja,” kata Willy.
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, mempertanyakan apakah penjajakan pembelian pesawat tempur jenis Typhoon sudah dibicarakan dengan Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Sebab, membeli pesawat tempur harus disesuaikan dengan visi misi Angkatan Udara dan sistem pertahanan negara.
Dengan membeli pesawat jenis Typhoon ini, menurut Connie, menimbulkan masalah pada integrasi sistem yang membuat Indonesia tidak memiliki standar militer untuk keperluan perang modern.
”Pahami dulu bahwa jet tempur itu memiliki karakteristik superiority fighter yang memiliki air dominance canggih, bobot senjata hebat, dan jarak jangkau jauh hingga 1,9 mile. Untuk apa kita memiliki itu, apakah kepentingan politik kita berubah? Apakah sesuai dengan strategi pertahanan kita?” kata Connie.
Menurut Connie, fungsi pesawat jet Typhoon sebagai superiority fighter sebenarnya sudah dimiliki oleh pesawat Sukhoi-35. Dengan demikian, seharusnya pembelian pesawat jenis tersebut lebih diprioritaskan.
Pembelian alutsista juga harus disesuaikan dengan kebijakan politik luar negeri dan sistem pertahanan Indonesia. Apakah hal tersebut sudah sesuai dengan doktrin pertahanan. Lebih lanjut, jika pembelian alutsista tidak dipikirkan secara matang, akan membuat logistik semakin rumit dan operasional mahal.