Tantangan Penegakan Hukum Kejaksaan
Kejaksaan diharapkan hadir sebagai penegak hukum profesional. Pada usia yang ke 60 tahun, korps Adhyaksa diharapkan mampu menuntaskan penanganan kasus-kasus hukum, termasuk pemberantasan korupsi dan pelanggaran HAM.
Di usia ke-60 tahun, tingkat kepuasan publik terhadap Kejaksaan Agung sebesar 26 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Pembentukan tim pemburu koruptor diharapkan bisa meningkatkan citra.
Kejaksaan diharapkan hadir sebagai penegak hukum yang profesional. Pada usia yang ke-60 tahun, korps Adhyaksa diharapkan mampu menuntaskan penanganan kasus-kasus hukum, termasuk pemberantasan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia, secara adil.
Harapan yang besar ini tak lepas dari apresiasi publik yang cenderung belum menunjukkan kepuasan tinggi terhadap kinerja kejaksaan. Dalam rentang tiga tahun terakhir, misalnya, kepuasan publik kepada lembaga penegak hukum ini relatif belum beranjak. Hasil jajak pendapat Kompas pada pekan lalu merekam kepuasan publik yang belum menjanjikan. Kepuasan hanya diungkapkan oleh lebih kurang sepertiga dari jumlah responden.
Tidak beranjaknya penilaian responden terlihat saat dibandingkan dengan jajak pendapat tiga tahun sebelumnya. Dalam jajak pendapat Kompas pada 2017, tingkat kepuasan rata-rata diungkapkan oleh sepertiga lebih responden. Apresiasi relatif masih minim di berbagai bidang.
Baca juga : Meningkatkan Kepercayaan Publik Jadi Pekerjaan Rumah Wakil Jaksa Agung yang Baru
Di bidang penyidikan, misalnya, diapresiasi oleh 27,6 persen responden, sedangkan di bidang penuntutan perkara hanya diapresiasi 25 persen responden. Secara umum, 26 persen responden yang mengapresiasi rekam jejak lembaga ini dalam penegakan hukum. Padahal, dalam jajak pendapat 2017, lembaga ini mendapatkan apresiasi positif dari 30 persen lebih responden. Kepuasan tertinggi ada pada tugas penyidikan, yaitu 45,5 persen, disusul penuntutan perkara 33,5 persen dan penegakan hukum 36,8 persen.
Hasil jajak pendapat ini juga sejalan dengan hasil survei tatap muka periodik (survei evaluasi pemerintahan) yang dilakukan Litbang Kompas sepanjang lima tahun terakhir. Di tengah kinerjanya yang memang belum menunjukkan apresiasi optimal di mata publik, citra kejaksaan juga belum menyentuh angka memuaskan.
Hasil jajak pendapat ini juga sejalan dengan hasil survei tatap muka periodik (survei evaluasi pemerintahan) yang dilakukan Litbang Kompas sepanjang lima tahun terakhir. Di tengah kinerjanya yang memang belum menunjukkan apresiasi optimal di mata publik, citra kejaksaan juga belum menyentuh angka memuaskan.
Meski citra positif kejaksaan masih di atas 50 persen, itu belum menyentuh mayoritas responden. Pada Oktober 2019, misalnya, sebanyak 57 persen responden mengapresiasi kinerja kejaksaan. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan survei Oktober 2015 yang mencapai 64,8 persen.
Tantangan
Sikap responden dari hasil jajak pendapat di atas perlu disikapi sebagai tantangan kejaksaan agar berupaya menunjukkan kinerja yang lebih baik ke depan. Boleh jadi penyikapan publik karena belum maksimalnya paparan kerja kejaksaan dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya.
Setidaknya hal ini tampak dari kurang dikenalnya sosok Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Hampir setahun menjabat, sosoknya belum sepenuhnya dikenal. Hal ini terindikasi dengan hanya sedikit (11 persen) responden yang bisa menyebutkan nama jaksa agung ini.
Dari kelompok responden yang mampu menjawab, nama M Prasetyo lebih banyak disebut. Hal ini wajar karena Burhanuddin adalah jaksa agung yang baru menjabat setahun kurang dan M Prasetyo jaksa agung periode sebelumnya. Menariknya, selain kedua nama itu, nama Baharuddin Lopa juga disebutkan responden. Bahkan, jumlah responden yang menyebut Lopa sama dengan jumlah responden penyebut Prasetyo.
Padahal, Lopa menjabat jaksa agung lebih kurang satu bulan karena meninggal sebulan setelah pelantikan. Ia menjabat pada periode 6 Juni-3 Juli 2001. Ini menunjukkan sosok Baharuddin Lopa begitu lekat dalam benak publik. Sebagai jaksa agung yang dikenal bersih dan jujur, Lopa jadi personifikasi harapan publik kepada institusi kejaksaan.
Perkara korupsi
Sosok Lopa yang bersih, jujur, dan berani semestinya mampu jadi panutan aparat kejaksaan jika mau citra mereka meningkat. Sebab, dalam upaya penuntutan kasus besar, seperti korupsi, peran kejaksaan juga tinggi, selain KPK. Sayang, dalam upaya pemberantasan korupsi, publik menilai kejaksaan belum maksimal.
Responden menilai kejaksaan masih setengah hati mengusut kasus korupsi. Hal ini tecermin dari sikap 40,2 persen responden yang menilai lembaga ini belum serius dan 36,6 persen lainnya menilai kejaksaan setengah-setengah menangani korupsi.
Sikap responden ini juga tergambar dari rilis Indonesia Corruption Watch tentang tren penindakan kasus korupsi tahun 2019. Dalam laporan itu disebutkan, terjadi penurunan penanganan perkara korupsi di institusi kejaksaan. Pada 2018, jumlah kasus yang ditangani 235 kasus dengan 489 tersangka. Pada 2019, jumlahnya menjadi 109 kasus dan 216 tersangka korupsi dengan kerugian negara Rp 847,8 miliar.
Selain itu, kasus korupsi yang ditangani kejaksaan tak jarang berakhir pada lepasnya terpidana. Misalnya, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Modern dengan terpidana Samadikun Hartono yang merugikan negara Rp 11,9 miliar. Jaksa gagal mengeksekusi Samadikun (dengan hukuman 4 tahun penjara) yang melarikan diri meski tertangkap kembali pada 2016.
Kasus lain yang diperbincangkan kembali terkait dengan buronan Joko Soegiarto Tjandra. Pada 2009, kejaksaan menangani perkara pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang menjerat Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko Soegiarto Tjandra. Joko dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 15 juta, dan ganti rugi Rp 546 miliar dalam putusan peninjauan kembali (PK) yang diajukan jaksa. Namun, sehari sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan putusan, Joko kabur ke Papua Niugini dan hingga kini jadi buronan meski sempat mengajukan peninjauan kembali, Juni lalu.
Upaya pemerintah mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor yang diwacanakan Menko Polhukam Mahfud MD, awal Juli lalu, tentu bisa jadi momentum kejaksaan memperbaiki citra. Sebanyak 56,4 persen responden optimistis pengaktifan kembali tim pemburu koruptor dapat menyukseskan agenda perburuan koruptor kelas kakap.
Di sisi lain, prestasi kejaksaan dalam penanganan isu korupsi tampaknya kurang diketahui publik. Pada awal periode kedua pemerintahan Joko Widodo, misalnya, kejaksaan berperan membongkar kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang diduga merugikan nasabah dan negara Rp 27 triliun. Aparat kejaksaan juga menangani dugaan penyalahgunaan bantuan KONI Pusat kepada Kemenpora (Kompas, 20 Mei 2020).
Baca juga : Jaksa Agung Janji Tangkap Joko Tjandra
Upaya pemerintah mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor yang diwacanakan Menko Polhukam Mahfud MD, awal Juli lalu, tentu bisa jadi momentum kejaksaan memperbaiki citra. Sebanyak 56,4 persen responden optimistis pengaktifan kembali tim pemburu koruptor dapat menyukseskan agenda perburuan koruptor kelas kakap.
Hari jadinya, 22 Juli mendatang, patut jadi momentum membangkitkan peran kejaksaan guna menjawab harapan publik terhadap hadirnya penegakan hukum yang adil.