DPR mengubah mekanisme penentuan draf regulasi yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. Setiap komisi atau alat kelengkapan Dewan hanya boleh mengajukan satu usulan RUU untuk dibahas dalam satu tahun.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme penentuan Program Legislasi Nasional kini diubah setelah ada kesepakatan antara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Badan Legislasi DPR. Setiap komisi atau alat kelengkapan Dewan kini hanya diwajibkan mengusulkan satu rancangan undang-undang setiap tahunnya. Perubahan ini dilakukan di tengah kritik publik atas prioritas legislasi yang dipandang tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Ketidakpuasan atas prioritas legislasi, antara lain, ditunjukkan oleh sejumlah kelompok masyarakat yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR, sejak Rabu hingga Kamis (16/7/2020). Elemen masyarakat yang terdiri dari kelompok buruh dan pegiat sosial itu mendesak pembatalan pengesahan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law serta RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Ada informasi yang beredar menyebutkan kedua RUU itu akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Pada kenyataannya, rapat paripurna tidak mengagendakan pengesahan dua RUU tersebut. Rapat mengagendakan lima hal, yakni laporan Komisi XI terhadap hasil uji kepatutan dan kelayakan deputi gubernur Bank Indonesia, laporan Komisi VI atas pemberian pertimbangan terhadap calon anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) 2020-2023, penyampaian RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN 2019 oleh pemerintah, laporan Badan Legislasi tentang evaluasi Prolegnas 2020, dan pidato Ketua DPR Puan Maharani untuk menutup masa sidang keempat DPR.
Untuk menghindari kecurigaan massa, sepanjang berlangsungnya rapat, pimpinan rapat, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, berkali-kali menegaskan agar rapat paripurna dipercepat sehingga tidak ada keraguan bahwasanya dua RUU tersebut tidak disahkan.
Terkait dengan mekanisme penetapan Prolegnas, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, dalam rapat paripurna, mengatakan, kesepakatan untuk membatasi jumlah legislasi itu telah dibahas antara pimpinan Baleg dan pimpinan DPR dalam rapat Badan Musyawarah, 15 Juli 2020. Dalam rapat itu disepakati agar dalam penentuan target legislasi tidak terlalu banyak. Setiap komisi mendapatkan kesempatan merealisasikan satu RUU setiap tahunnya. Ketika RUU itu dapat direalisasikan pada tahun yang sama, barulah komisi itu diberi kesempatan untuk mengajukan RUU baru.
Ketentuan ini berbeda dengan kelaziman dalam penentuan Prolegnas oleh DPR sebelumnya. Sebab, biasanya komisi tidak diberi batasan untuk mengajukan RUU. Bahkan, ada kecenderungan setiap komisi mengajukan dua RUU setiap tahun.
Penentuan target legislasi tidak terlalu banyak. Setiap komisi mendapatkan kesempatan merealisasikan satu RUU setiap tahunnya.
Selain itu, Supratman mengatakan, terkait dengan waktu penyusunan Prolegnas, komisi diberi waktu menyelesaikannya dalam dua kali masa sidang. Apabila tidak selesai dalam dua kali masa sidang, RUU akan dikeluarkan dari Prolegnas. Adapun untuk waktu pembahasannya, tiap-tiap RUU dibatasi harus selesai dalam tiga kali masa sidang. Apabila batas waktu tidak terpenuhi, hal itu akan dievaluasi melalui Badan Musyawarah dan akan dialihkan penugasan pembahasannya kepada AKD yang lain.
”Terkait dengan Prolegnas, kami mengusulkan kepada pimpinan DPR untuk bisa melakukan rapat konsultasi dengan pemerintah sehingga ada kesepahaman antara pencapaian target legislasi,” katanya.
Supratman mengatakan, pengaturan penetapan target legislasi ini merupakan upaya Baleg mengevaluasi kinerja legislasi DPR. Selama ini, Baleg dinilai terlalu banyak dalam menetapkan target Prolegnas sehingga cenderung tidak realistis. Kerap kali target Prolegnas terlalu tinggi sehingga pada akhirnya kinerja legislasi DPR tidak optimal. Upaya evaluasi itu mulai dilakukan Baleg dengan mengurangi target legislasi dalam Prolegnas 2020.
Dari 50 RUU yang masuk ke dalam Prolegnas 2020, 16 RUU di antaranya ditarik setelah dilakukan evaluasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Dalam perjalanan ke depan, Supratman mengatakan, tidak tertutup kemungkinan target RUU itu kembali dievaluasi.
”Baleg berpandangan rancangan Prolegnas 2020 yang ditetapkan bersama pemerintah tidak realistis dalam kondisi proses legislasi yang tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya di masa pandemi karena adanya keterbatasan. Oleh karena itu, Baleg bersama Kemenkumham dan DPD di dalam evaluasi Prolegnas 2020 menyepakati untuk mengurangi 16 RUU,” katanya.
Baleg berpandangan rancangan Prolegnas 2020 yang ditetapkan bersama pemerintah tidak realistis dalam kondisi proses legislasi yang tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya di masa pandemi karena adanya keterbatasan. (Supratman Andi Atgas)
Untuk mengatur perubahan mekanisme penentuan prolegnas itu, Baleg dalam waktu dekat akan melakukan perubahan terhadap peraturan DPR tentang pembentukan UU.
Menyisakan persoalan
Evaluasi Prolegnas 2020 masih menyisakan persoalan. Sejumlah RUU yang menjadi perhatian publik, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), justru ditarik dari Prolegnas. Di sisi lain, pembahasan RUU yang problematik, seperti RUU Cipta Kerja, justru diteruskan, bahkan rapat tetap digelar pada masa reses.
Ketua Kelompok Fraksi Nasdem di Komisi VIII DPR Lisda Hendrajoni mengatakan, fraksinya menyayangkan evaluasi Prolegnas yang mencarik RUU PKS dari daftar prioritas. Kebijakan itu mengabaikan fakta masih banyaknya kekerasan seksual yang dialami warga, terutama perempuan.
Fraksi Nasdem menyayangkan evaluasi Prolegnas yang mencarik RUU PKS dari daftar prioritas. Kebijakan itu mengabaikan fakta masih banyaknya kekerasan seksual yang dialami warga, terutama perempuan.
Selama ini, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara tegas memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Padahal, Indonesia telah menandatangani konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against women/CEDAW) tahun 1984.
”Tidak ada pengaturan yang komprehensif tentang sembilan jenis kejahatan, yaitu kejahatan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual sebagai tindak pidana dalam perundang-undangan yang berlaku sehingga terjadi kekosongan hukum yang memberikan dampak keterbatasan korban dalam mengakses hak atas keadilan dan penanganan,” kata Lisda.
Nasdem mendesak agar RUU PKS tetap dipertahankan di dalam Prolegnas 2020. Namun, Dasco mengatakan, sesuai dengan kesepakatan rapat Bamus DPR, RUU PKS dimasukkan ke dalam Prolegnas 2021.
Pertanyaan mengenai RUU HIP juga diutarakan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori. PKS meminta agar RUU itu ditarik dari Prolegnas 2020. Sebab, telah ada sikap dari masyarakat dan tokoh-tokoh tentang RUU HIP.
Pimpinan DPR mengatakan, terkait dengan RUU HIP, belum ada keputusan yang dikeluarkan oleh DPR untuk mencabut RUU tersebut. Sebab, pada Kamis juga telah diterima surat presiden (surpres) beserta usulan tentang pembentukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Usulan itu masih harus dikaji dan didalami oleh pimpinan DPR.
”Saat ini, kami baru menerima pendapat pemerintah atau surpres sehingga dalam rapat paripurna ini, juga dalam skenario Bamus, belum bisa mengambil langkah-langkah karena surat baru diterima. Pak Bukhori sebagai anggota Baleg juga tentunya tahu mekanisme pencabutan RUU itu tidak serta-merta dilakukan, ada mekanisme yang harus ditempuh,” katanya.