Kuatnya sinergi dan komitmen negara membuat buronan Maria Pauline Lumowa berhasil diekstradisi. Semangat itu diharapkan juga terlihat dalam memburu buronan lain.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sinergi lintas instansi pemerintah dan penegak hukum yang ditunjukkan saat mengekstradisi buronan Maria Pauline Lumowa menunjukkan kemampuan negara menangkap buronan. Sinergi tersebut diharapkan juga muncul dalam mencari buronan lain, seperti Joko S Tjandra, Sjamsul Nursalim, dan Harun Masiku.
”Ekstradisi Maria ini memperlihatkan kesungguhan negara mengusut tuntas kasus Maria dan mengadili orang-orang yang dianggap bertanggung jawab. Berkaca dari hal itu, negara seharusnya mampu mengejar buronan lain,” kata Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru melalui surat kredit (L/C) fiktif, tiba di Tanah Air, Kamis siang, setelah diekstradisi dari Serbia. Ia diduga merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun dan berstatus buronan sejak 2003.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra berharap kuatnya sinergi dan komitmen negara hingga berhasil mengekstradisi Maria diteruskan dalam mengejar buronan lain.
Buronan lain yang diharapkan dapat segera ditangkap antara lain Joko Tjandra. Terpidana perkara hak tagih utang atau cessie Bank Bali yang telah berstatus buronan sejak 2009 ini diketahui bisa kembali ke Indonesia pada Juni lalu.
Pada 8 Juni lalu, ia diketahui mengurus kartu tanda penduduk (KTP) elektronik di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. KTP elektronik itu lalu dipakai untuk mendaftarkan peninjauan kembali atas perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari itu juga.
Buronan lainnya yang menjadi perhatian publik adalah tersangka dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia mencapai Rp 4,58 triliun, Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim. Keduanya dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak September 2019. Ada pula Harun Masiku, tersangka penyuap bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan, awal tahun ini.
Kerja sama dan komitmen
Dalam jumpa pers proses ekstradisi Maria ke Indonesia di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, kemarin, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menekankan, keberhasilan memulangkan Maria buah dari kerja sama antarinstansi pemerintah dan penegak hukum. Selain itu, juga menjadi bukti negara berkomitmen mengejar buronan.
Yasonna menceritakan, awalnya Maria ditangkap NCB Interpol Serbia karena ia masuk dalam DPO Interpol, 16 Juli 2019. Mendengar hal ini, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham langsung mengirimkan surat permintaan ekstradisi pada 31 Juli 2019 dan 3 September 2019.
Selain itu, tim dari Kemenkumham bersama Polri berulang kali ke Serbia untuk memproses ekstradisi Maria. Lobi kepada otoritas Serbia pun intens dilakukan Duta Besar Indonesia untuk Serbia Mochammad Chandra Widya Yudha. Lobi itu masih ditambah dengan lobi tingkat tinggi antarmenteri kedua negara.
Seluruh proses tersebut, menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, telah tuntas beberapa bulan lalu. Namun, pandemi Covid-19 sempat menghambat upaya pemulangan.
Meski demikian, upaya pemulangan terus dilakukan. Apalagi dengan adanya tenggat penahanan Maria oleh otoritas Serbia, yang jatuh pada 17 Juli mendatang. Upaya itu pun berbuah hasil pada Rabu (8/7/2020), Maria diserahkan kepada Pemerintah RI.
”Walaupun kita belum punya perjanjian ekstradisi dengan Serbia, dengan dukungan baik, pendekatan diplomasi high level dalam bidang hukum, dan persahabatan, akhirnya kita bisa membawa beliau (Maria) kemari,” kata Yasonna.
Lobi dan persahabatan dengan Serbia salah satunya juga dibangun Polri, yang pada tahun 2015 bekerja sama dengan Kepolisian Belgrade (Serbia) dan Interpol Jakarta berhasil menangkap buronan Dimitar Nikolov Iliev. Menurut data kepolisian di Eropa, Dimitar melakukan kejahatan pada 1.568 kartu nasabah dengan kerugian 15 miliar euro atau sekitar Rp 24 triliun. Tindak kejahatan tersebut dilakukan sekitar 5.500 kali melalui 509 ATM (Kompas, 24/10/2015).
Dugaan suap
Komitmen Serbia memuluskan permintaan ekstradisi Pemerintah RI tak terusik oleh sejumlah manuver yang dilakukan kuasa hukum Maria. Bahkan, menurut Yasonna, kuasa hukum Maria berupaya menyuap otoritas Serbia.
”Jadi, pengacaranya, pertama, ada yang mencoba menyuap 100.000 euro ke pejabat di kementerian di Serbia. Ditolak. Kedua, naik 300.000 euro, ditolak. Ketiga, naik, 500.000 euro. Itu akhirnya ditahan. Jadi pengacaranya ditahan karena mencoba menyuap,” tuturnya.
Pemerintah Serbia juga kukuh dengan sikapnya sekalipun ada negara di Eropa yang berupaya memengaruhi agar tak mengekstradisi Maria. Namun, negara apa yang dimaksud tak disebutkan Yasonna.
Pada 2009 dan 2014, Pemerintah RI sempat meminta ekstradisi Maria ke Pemerintah Belanda. Namun, permintaan itu ditolak. Permintaan ekstradisi diajukan ke Belanda karena perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, itu sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.
Yasonna berjanji proses pengejaran terhadap buronan tidak akan berhenti pada Maria. Sinergi antarinstansi pemerintah dan penegak hukum juga akan dikedepankan saat mengejar buronan lainnya, termasuk Joko Tjandra.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, setelah Maria dipulangkan ke Indonesia, Bareskrim Polri menahannya dan akan dilanjutkan dengan proses hukum. (PDS/NAD/BEN/BOW)