Momentum Menangkap Joko Tjandra
Sidang perdana Peninjauan Kembali perkara Joko Soegiarto Tjandra, Senin (6/7/2020) ini, menjadi momentum bagi aparat hukum untuk menangkap Joko, yang telah 11 tahun buron.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah kehilangan kesempatan pada 8 Juni 2020, pada Senin (6/7/2020) hari ini aparat kembali memiliki peluang menangkap Joko S Tjandra, buron perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali. Terpidana dua tahun penjara ini, dijadwalkan menghadiri sidang perdana pemeriksaan perkara peninjauan kembali yang dia mohonkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sidang perdana itu, sebenarnya digelar Senin pekan lalu. Namun, saat itu Joko Tjandra tak hadir dengan alasan sakit hingga sidang ditunda pada hari ini. Kehadiran Joko Tjandra di persidangan dibutuhkan karena Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 menyatakan, sidang harus dihadiri pemohon peninjauan kembali (PK), dalam perkara ini adalah Joko Tjandra.
Joko Tjandra yang telah 11 tahun buron, sempat leluasa hadir di lembaga pemerintah dan pengadilan pada Senin, 8 Juni 2020. Penelusuran Kompas, pada hari itu Joko Tjandra dan pengacaranya mendatangi Kantor Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk melakukan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).
Dari kelurahan, Joko Tjandra dan kuasa hukumnya menuju Kantor Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Slatan di Jalan Ampera Raya untuk mendaftarkan permohonan PK atas putusan Mahkamah Agung terkait perkara cessie Bank Bali. KTP-el yang baru saja dibuat Joko Tjandra, langsung digunakan sebagai salah satu syarat pengajuan PK.
Mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, pengajuan PK hanya dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Adapun permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum tanpa dihadiri terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.
Salinan KTP-el diserahkan kepada petugas PTSP sebagai syarat dibuatnya akta permohonan PK, sedangkan KTP-el yang asli ditunjukkan. Berdasarkan salinan KTP-el atas nama Joko Soegiarto Tjandra yang diperoleh Kompas, tertera tanggal 8 Juni 2020 sesuai dengan tanggal terbit. Itu tanggal yang sama dengan akta pengajuan permohonan PK dikeluarkan.
Baca juga: Koordinasi Merenggang, Buron Melenggang
Saat itu, Joko Tjandra tidak ditangkap karena kemunculannya disebut tidak diketahui atau disadari aparat. Padahal, menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, saat seseorang berstatus terpidana, bahkan buron, semua lembaga hukum wajib melaporkan dan menyukseskan eksekusinya.
”Jadi lucu, untuk mengeksekusi WNI yang secara legal ada di Indonesia, tetapi negara tidak mampu melakukannya (menangkap). Pertanyaannya adakah komitmen di antara institusi itu untuk menegakkan hukum dan proses ekseksinya,” tanya Sigit.
Pertanyaan itu muncul karena menurut Sigit, aparat hukum di sejumlah institusi seperti Kejaksaan Agung, pengadilan, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian Negara RI, dan Badan Intelijen Negara (BIN), memiliki sumber daya, instrumen, serta peluang untuk mengeksekusi, atau membantu institusi lain dalam eksekusi.
Menurut Sigit, buronnya Joko Tjandra menjadi ujian aparat hukum dan juga pemerintah dalam penegakan hukum. Keberhasilan menangkap Joko Tjandra tidak hanya berarti membuktikan komitmen aparat hukum dan pemerintah, tetapi juga menghadirkan rasa aman bagi masyarakat.
Pengecekan KTP
Terkait KTP-elektronik atas nama Joko Tjandra, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh saat dikonfirmasi, mengatakan, Kementerian Dalam Negeri masih memerlukan waktu untuk mengecek KTP lama dan baru atas nama Joko Tjandra.
Zudan juga belum bisa memastikan di mana celah yang menyebabkan pembuatan KTP baru atas nama Joko Tjandra lolos di Jakarta dan tidak terdeteksi. Untuk memeriksa hal itu, diperlukan detail data KTP lama dan baru milik Joko Tjandra. ”Dirjen Dukcapil akan mengecek dulu datanya,” ujar Zudan.
Tidak hanya merekam KTP elektronik pada 8 Juni 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan, paspor atas nama Joko Soegiarto Tjandra juga dibuat pada 23 Juni 2020. ”Setelah buat KTP dia juga buat paspor tanggal 23 Juni 2020,” kata Burhanuddin. Bukti KTP dan Paspor atas nama Joko Tjandra kini ada di tangan Jaksa Agung.
Joko tersangkut perkara korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali saat menjabat Direktur Utama PT Era Giat Prima. Ia dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 15 juta dalam putusan PK yang diajukan jaksa. Namun, 10 Juni 2009 atau sehari sebelum vonis, Joko kabur ke Papua Niugini.
Sebelas tahun berselang, Joko muncul di Indonesia, sesuai pernyataan Jaksa Agung saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, 29 Juni 2020. Menurut Burhanuddin, Joko mungkin sudah di Indonesia tiga bulan terakhir, tetapi tak terpantau.
Tanggal 29 Juni 2020 lalu juga masa sidang perdana PK Joko Tjandra di PN Jaksel. Kejaksaan berencana menangkap Joko dalam sidang itu. Namun, Joko tidak hadir karena sakit, dengan surat sakit dari klinik di Kuala Lumpur, Malaysia.
Menurut Sigit, Joko Tjandra yang menjadi buron merupakan ujian tidak hanya bagi aparat penegak hukum, tetapi juga bagi pemerintah untuk membuktikan komitmennya dalam penegakan hukum. Keberhasilan menangkap Joko Tjandra tidak hanya berarti membuktikan kinerja aparat penegak hukum dan pemerintah, tetapi juga akan memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Sebab, publik akan melihat bahwa penegakan hukum dijalankan dan seluruh warga negara berkedudukan sama di depan hukum. Jika tidak, akan muncul persepsi sebaliknya. Oleh karena itu, jadwal sidang PK Joko Tjandra, Senin (6/7/2020) ini menjadi momentum kedua bagi aparat hukum untuk menangkap Joko Tjandra.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan, hakim harus berpegang pada peraturan perundang-undangan dalam memeriksa permohonan PK oleh terpidana Joko Tjandra. Jika permohonan PK tidak memenuhi syarat-syarat yang dipenuhi, hakim dapat menolaknya.
”Misalnya, terpidana harus hadir itu betul atau tidak. Kalau (terpidana) diharuskan hadir, ya, harus hadir. Kan nanti pengadilan hanya memeriksa syarat-syarat permohonan PK yang kalau memenuhi, kemudian diteruskan ke Mahkamah Agung,” kata Jaja.
Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan, sidang PK yang diajukan oleh siapa pun, apalagi oleh terpidana Joko Tjandra tak boleh digelar in absentia dan hanya lewat video konferensi. Hal itu karena Joko Tjandra merupakan terpidana kasus pidana yang sudah diputus penuh oleh MA dan buron ke Papua Niugini (Kompas, 3/7/2020).
Joko Tjandra tersangkut perkara korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali saat menjabat Direktur Utama PT Era Giat Prima. Ia dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 15 juta dalam putusan PK yang diajukan jaksa. Namun, 10 Juni 2009 atau sehari sebelum vonis, Joko kabur ke Papua Niugini.
Sebelas tahun berselang, Joko muncul di Indonesia, sesuai dengan pernyataan Jaksa Agung saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, 29 Juni 2020. Menurut Burhanuddin, Joko mungkin sudah di Indonesia tiga bulan terakhir, tetapi tak terpantau.
Tanggal 29 Juni 2020 juga masa sidang perdana PK Joko Tjandra di PN Jaksel. Kejaksaan berencana menangkap Joko dalam sidang itu. Namun, Joko tidak hadir karena sakit, dengan surat sakit dari klinik di Kuala Lumpur, Malaysia.
Baca juga: Pelintasan Buron Joko Tjandra Tak Tercatat di Imigrasi
Tidak hadirnya Joko Tjandra pada sidang perdana membuat sidang ditunda menjadi Senin hari ini. Namun, kuasa hukum Joko Tjandra, Andi Putra Kusuma, kemungkinan akan kembali mengajukan penundaan sidang karena kliennya masih belum pulih. Ditanya soal keberadaan Joko Tjandra saat ini, Andi belum mendapat informasi.
Jaksa Agung menyatakan, sidang PK yang diajukan oleh siapa pun, termasuk oleh Joko Tjandra, tak boleh digelar in absentia dan hanya lewat video konferensi (Kompas, 3/7/2020).
Menurut Andi, putusan atas PK yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara cessie Bank Bali, dengan terpidana Joko S Tjandra, dinilai batal demi hukum karena PK tersebut melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
Andi menilai, putusan PK No 12/PIDSUS/2009, yang diajukan jaksa, merupakan putusan PK yang batal demi hukum karena melanggar Pasal 263 Ayat (1) UU No 8/1981 tentang KUHAP. Sebelumnuya, Pasal 263 Ayat (1) KUHAP diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi No 33/PUU-XIV/2016 atas uji materiil yang diajukan Anna Boentaran, istri Joko Tjandra.
Integrasi data mendesak
Kehadiran Joko Tjandra secara leluasa di kantor pemerintahan dan pengadilan pada 8 Juni 2020 menunjukkan lemahnya integrasi data kependudukan. Saat merekam data dan mencetak KTP-el di Kelurahan Grogol Selatan, tidak ada notifikasi statusnya sebagai buron negara pada sistem informasi administrasi kependudukan. Alhasil, petugas layanan kependudukan dan catatan sipil tetap melayani untuk pembuatan KTP-el.
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasodjo menilai, semua program pemerintah termasuk keperluan pengadilan dan pencekalan buron ke depan harus diintegrasikan dengan data kependudukan. Mengacu penerapan di negara lain, rekam jejak warga negara tetap tercatat dalam data kependudukan meski yang bersangkutan berpindah-pindah domisili.
Namun, upaya penyatuan data kerap terhambat ego sektoral tiap kementerian/lembaga. Belum ada lembaga yang diberikan wewenang memanfaatkan data kependudukan untuk seluruh program pemerintah. Kewenangan itu semestinya bisa dibuat melalui peraturan presiden. ”Itu problemnya, karena tidak ada institusi yang bertindak sebagai integrator data kependudukan,” kata Eko. (ILO/IRE/NIA/DEA/NAD/HAR/*)