Sebagian Kaum Muda Sulit Melupakan Stigma Polisi yang Mudah Disuap
Sebagian masyarakat pernah berhadapan langsung dengan polisi ”nakal” yang meminta uang saat di jalan. Peristiwa semacam itu membuat mereka sulit percaya bahwa ada polisi yang tidak mudah disuap.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintasi baliho peringatan Hari Ulang Tahun Ke-74 Bhayangkara di pintu keluar Polda Metro Jaya Jakarta, Selasa (30/6/2020). HUT Bhayangkara merupakan peringatan terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berdasarkan Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 11 Tahun 1946.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga mengaku sulit melupakan stigma polisi yang mudah disuap. Hal ini didasari sejumlah pengalaman mereka saat menemui polisi yang bertindak nakal saat bertugas. Penilaian ini mengemuka pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-74 Kepolisian Negara Republik Indonesia, Rabu (1/7/2020).
Dwijayanti Panggabean (28), warga Jakarta Timur, pegawai keuangan di perusahaan kredit kendaraan bermotor, beberapa kali berhadapan dengan polisi yang meminta uang saat menilang kendaraan. Situasi semacam itu dia alami dua kali pada 2019, lalu yang terakhir pada Maret 2020.
Polisi saat itu mencegat dirinya karena salah berbelok pada jalan satu arah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dwijayanti yang bersepeda motor saat itu sempat dibiarkan menunggu lama ketika minta surat tilang. Setelah beberapa waktu, dia ditawari oleh polisi untuk ”berdamai” dengan membayar sejumlah uang.
”Waktu itu akhirnya saya pilih bayar Rp 50.000 karena buru-buru. Sebenarnya mau minta tilang saja, tetapi polisinya pun kurang jelas memberi informasi berkas saya akan disidang di mana,” ungkap Dwijayanti.
Hal serupa dialami Alif Nur Rachman (26). Warga Depok, Jawa Barat, ini juga sempat ”berdamai” dengan memberi sejumlah uang kepada polisi pada Desember 2019. Menurut dia, praktik suap kecil-kecilan semacam itu tidak pernah hilang dari kepolisian. Semasa sekolah pada 2008, dia juga pernah membayar saat ditilang polisi.
”Dulu, pas SMA, saya juga pernah kena tilang. Saya akhirnya bayar dengan uang sisa jajan sepulang sekolah,” ucapnya. Karena pengalaman itu, Alif sulit sekali melepas anggapan kalau polisi bisa disuap.
Selain Alif dan Dwijayanti, Dian Nugroho (28) juga sulit percaya dengan anggapan bahwa polisi bisa sepenuhnya jujur. Dalam proses perpanjangan SIM, awal Januari 2020, ada orang yang bisa langsung foto identitas tanpa mengantre panjang seperti dirinya. Hal semacam itu, menurut dia, tidak mungkin terjadi kalau seseorang tidak membayar.
”Saya dan orang-orang antre sejak pagi, tetapi ada saja satu atau dua orang yang bisa langsung foto diri tanpa antre. Praktik semacam itu membuat saya kerap berburuk sangka, mungkin kondisi semacam itu ada orang dalamnya,” tutur Dian.
Anggota polisi dari Kepolisian Resor Kota Besar Semarang memasak untuk kebutuhan dapur umum.
Anggapan sebagian orang ini sesuai dengan hasil survei jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan pada 23-25 Juni 2020. Jajak pendapat dilakukan kepada 522 responden berusia minimal 17 tahun di 16 kota besar di Indonesia.
Hasil japat mencatat, mayoritas responden, yakni 62,1 persen, menilai citra kepolisian saat ini baik. Namun, terlihat generasi milenial muda (berusia di bawah 30 tahun) adalah kelompok responden yang paling skeptis. Kelompok ini paling banyak menjawab setuju terhadap persepsi ”polisi mudah disuap”, lalu diikuti kelompok usia milenial dewasa (31-40), generasi X (41-52), dan baby boomers (53 tahun ke atas).
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, mengatakan, persepsi ”polisi mudah disuap” adalah stigma yang terbentuk sejak era Orde Baru. Upaya memperbaiki hal ini pun ternyata sulit karena praktik ini ternyata masih terjadi.
”Dari sejumlah langkah reformasi Polri yang masih berlangsung hingga kini, upaya reformasi dari sisi kultural inilah yang masih dalam proses. Dalam arti, mengubah watak, sikap, dan kebiasaan anggota pada masa Orde Baru agar jujur seperti harapan masyarakat,” tutur Poengky saat dihubungi lewat pesan tertulis.
Kepala Kepolisian Resor Kota Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi (kiri) bersama Wakil Kepala Polresta Cirebon Ajun Komisaris Besar Arif menunjukkan barang bukti kasus kekerasan seksual di Mapolresta Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020).
Meski pimpinan dan aparat Polri semakin profesional, modern, dan transparan, Poengky mengkritik ada saja oknum anggota yang ”nakal”. Hal ini termasuk soal urusan pungutan liar.
Poengky mengimbau agar masyarakat lebih aktif melaporkan berbagai bentuk kecurangan oleh oknum anggota kepolisian. Dia berharap masyarakat mau memvideokan tindakan oknum anggota yang tidak terpuji. Hal ini bisa digunakan sebagai bahan laporan kepada pengawas internal dan eksternal Polri.
Sistem untuk mengawasi agar polisi tidak mudah disuap pun sudah ada. Fitur e-tilang dan berbagai kamera pemantau di kota semestinya dapat pula dimanfaatkan. Di satu sisi, masyarakat juga harus konsekuen untuk bersedia ditilang, jangan bujuk polisi untuk mau disuap.
Poengky mengingatkan, jalan untuk memulihkan citra kepolisian memang tidak mudah, tetapi harus dilakukan secara konsisten di semua lini. ”Cara-cara simpel dapat dilakukan dengan pimpinan yang memberi contoh kepada anggota, juga memperketat sistem perekrutan agar tidak digunakan oknum tertentu dalam mencari untung,” ujarnya.