Indeks Perilaku Antikorupsi 2020 mengindikasikan menguatnya bahaya politik uang dalam kontestasi demokrasi. Masyarakat makin permisif dengan pemberian barang atau uang. Tanpa pengawasan, demokrasi mudah tergerus.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI DAN NIKOLAUS HERBOWO
·3 menit baca
IPAK 2020 mengindikasikan makin permisifnya masyarakat terhadap politik transaksional dalam pemilihan. Selain merusak demokrasi, politik uang juga akan merugikan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Perilaku Antikorupsi 2020 mengindikasikan menguatnya bahaya politik uang dalam kontestasi demokrasi di Indonesia. Masyarakat makin permisif terhadap pemberian barang atau uang dalam pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan umum. Tanpa penguatan pengawasan dan penegakan hukum yang dibarengi komitmen kandidat agar tidak terlibat dalam politik uang, kualitas demokrasi bakal terus tergerus.
Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2020 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin (15/6/2020), menunjukkan, tahun ini, skor IPAK mencapai 3,84 dari skala 5. Semakin besar skor, masyarakat semakin cenderung antikorupsi. BPS menyusun indeks ini dengan menggunakan dua dimensi, yaitu persepsi masyarakat yang berupa penilaian mereka terhadap perilaku antikorupsi di masyarakat dan pengalaman masyarakat.
Capaian tahun 2020 membaik 0,14 poin daripada tahun 2019. Namun, indeks itu juga menunjukkan, di lingkup publik, masyarakat makin permisif terhadap pembagian uang, barang, dan fasilitas pada saat pilkades, pilkada, ataupun pileg dan pilpres. Tahun 2020, 32,74 persen responden survei menyatakan wajar menerima pemberian tersebut. Hal ini memburuk dari tahun sebelumnya yang menunjukkan 20,89 persen responden menganggap wajar menerima pemberian saat pemilihan.
Semakin besar skor, masyarakat semakin cenderung antikorupsi.
Selain itu, 22,47 persen responden menganggap wajar peserta pilkades, pilkada, dan pemilu membagikan barang atau uang kepada calon pemilih. Persentase ini juga memburuk dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 21,34 persen.
”Ada pelemahan persepsi publik di lingkup publik ini dibandingkan tahun lalu. Ini menunjukkan harus ada pendidikan politik yang lebih baik lagi bahwa politik uang atau transaksional melanggar aturan dan prinsip demokrasi yang baik,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Menurut dia, indeks persepsi itu juga sejalan dengan indeks pengalaman masyarakat. Dalam dimensi pengalaman, ada kenaikan 10,82 persen responden yang mengalami tawaran uang, barang, dan fasilitas saat pilkades, pilkada, dan pemilu.
Sinyal sejenis juga tampak dari indikator politik uang (vote buying), bagian dari Indeks Demokrasi yang disusun V-Dem Institute, Swedia. Pada tahun 1999, pemilu pertama di era reformasi, Indonesia mendapat skor 1,51, sedangkan tahun 2019 menjadi 0,92. Dari skala 0-4, semakin kecil skor, semakin buruk kondisi politik uang.
Merugikan masyarakat
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyampaikan, politik uang bisa merusak sistem dan nilai-nilai demokrasi. Dia menilai masih perlu penebalan penegakan hukum di setiap kontestasi agar politik uang tak terjadi.
”Jika hal tersebut diterima sebagai hal wajar, sama halnya politik uang sudah menjadi pandemi. Untuk mengatasi pandemi, tentu perlu cara-cara yang luar biasa,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, memang ada kultur di masyarakat yang menganggap memberi dan menerima imbalan tertentu adalah kebiasaan. Mereka menganggap ada hal yang kurang ketika kandidat tak memberi sesuatu saat kontestasi demokrasi.
Menurut Aditya, selain memperkuat sisi pengawasan dan penegakan aturan terkait politik transaksional, kandidat juga harus berpartisipasi mengubah persepsi masyarakat. Kandidat perlu melakukan cara-cara anti-mainstream agar tidak terjebak dalam situasi politik transaksional. Mereka punya peran penting untuk mengedukasi pemilih dengan cara yang baik. Salah satunya dengan kreativitas program dan kegiatan produktif saat kampanye.
Sementara itu, peneliti politik Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, Arya Fernandes, mengingatkan, potensi politik transaksional terjadi di hampir setiap pemilu. Namun, di tengah pandemi, potensi itu semakin menguat karena warga berada dalam situasi ekonomi yang sulit.
Ini isu bersama yang harus terus didorong agar sikap permisif terhadap politik uang bisa mengecil. Kalau orang tak punya kapasitas, lalu pakai politik uang dan terpilih, ketika dia memimpin, yang rugi juga masyarakat.
”Ketika orang butuh dana atau bantuan, politik uang dalam pilkada rentan digunakan petahana, terutama melalui distribusi bansos,” ujar Arya.
Adapun pada 9 Desember 2020, pemilih di 270 daerah bakal memilih kepala daerah.
Karena itu, dia mendorong transparansi penyaluran, validasi penerima, dan audit penerima bansos. Masyarakat pun, kata Arya, harus terus diajak menolak politik uang.
”Ini isu bersama yang harus terus didorong agar sikap permisif terhadap politik uang bisa mengecil. Kalau orang tak punya kapasitas, lalu pakai politik uang dan terpilih, ketika dia memimpin, yang rugi juga masyarakat,” ujarnya.