Imbas dari Tuntutan Ringan Kasus Novel, Komnas HAM: Keadilan Kian Sulit Ditegakkan
Tim advokasi Novel Baswedan menyebutkan, tuntutan jaksa terhadap terdakwa penyiraman air keras di sejumlah daerah jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa dalam kasus Novel. Jaksa kasus Novel dinilai tidak serius.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tuntutan pidana 1 tahun penjara kepada kedua terdakwa pelaku penyiraman air keras ke Novel Baswedan, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, dinilai menjadi preseden buruk bagi penegakan hak asasi manusia. Dikhawatirkan, masyarakat akan semakin sulit memperoleh keadilan di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab, ketika dihubungi, Sabtu (13/6/2020), mengatakan, tuntutan ringan jaksa penuntut umum kepada kedua terdakwa dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan merupakan sinyal buruk bagi penegakan HAM. Padahal yang menjadi korban kejahatan adalah aparatur penegak hukum.
”Ini yang diserang adalah aparatur negara yang merupakan penegak hukum. Sementara pelakunya adalah juga aparatur negara penegak hukum. Tetapi jaksa, kok, tuntutannya begitu. Ada ketidakseriusan. Tuntutan jaksa ini menghina akal sehat kita,” kata Amiruddin.
Ia menekankan, jaksa merupakan representasi negara. Dengan demikian, dalam kasus Novel, jaksa harusnya memberikan perhatian maksimal.
Menurut Amiruddin, jika aparat penegak hukum saja dapat diperlakukan demikian, hal yang lebih buruk dikhawatirkan akan dapat menimpa rakyat kebanyakan. Contoh buruk yang dilakukan jaksa itu memperlihatkan keadilan menjadi semakin sulit ditegakkan. Hal itu berarti mengancam HAM.
Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum dari Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan, tuntutan ringan terhadap terdakwa pelaku penyiraman air keras tersebut sangat tidak adil dan mencederai rasa keadilan.
Sebab, terdapat faktor yang tidak dipertimbangkan oleh jaksa, yakni dilakukan berencana dan dengan kesengajaan.
”Sebenarnya ada sistem di mana jaksa itu perannya bisa lebih dari sekadar tukang pos. Maksudnya, ketika jaksa tahu berkas penyidikan yang diterima itu tidak layak atau tidak mengungkapkan kasusnya sehingga perlu elaborasi lebih jauh terkait motifnya dan prosesnya, maka itu bisa dilakukan jaksa,” kata Herlambang.
Menurut Herlambang, persidangan kasus Novel berkebalikan dengan kasus dugaan makar yang ditangani PN Balikpapan terhadap tujuh mahasiswa dengan tuntutan bervariasi sampai 17 tahun penjara. Sementara, pelaku kasus ujaran rasial yang ditangani PN Surabaya hanya dijatuhi hukuman 5 bulan penjara.
Dalam konteks yang lebih luas, Herlambang khawatir tuntutan ringan jaksa dalam kasus Novel akan semakin memupuskan harapan publik untuk mendapatkan keadilan pada penegakan hukum di Indonesia.
Anggota tim advokasi Novel Baswedan LBH Jakarta, Shaleh Al Ghiffari, mengatakan, tuntutan pidana 1 tahun penjara kepada dua terdakwa pelaku penyiraman air keras sungguh mengecewakan.
Meski demikian, tim advokasi Novel Baswedan telah memperkirakan hal itu akan terjadi karena bukti-bukti maupun saksi yang dinilai penting justru tidak dihadirkan di persidangan.
”Kami sangat kecewa. Namun, seperti dulu pernah kami sampaikan, kami meragukan persidangan Novel Baswedan karena proses hukumnya tidak dilakukan secara utuh. Usulan kami agar Presiden membentuk tim independen pada 2017 juga tidak dilakukan,” kata Shaleh.
Yang lebih mengecewakan, tuntutan terhadap terdakwa pelaku penyiraman air keras di beberapa kasus lain selalu dituntut dengan pidana penjara di atas 5 tahun penjara. Semisal terdakwa penyiraman air keras yang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu dituntut 10 tahun penjara. Demikian pula kasus serupa yang disidang di PN Mojokerto juga dituntut 15 tahun penjara, maupun kasus serupa di PN Surabaya yang pelakunya dituntut 12 tahun penjara.
”Ini menunjukkan ketidakseriusan, terutama terdapat upaya untuk melindungi penegak hukum,” ujar Shaleh.
Menurut Shaleh, tim advokasi sedari awal telah berusaha memberi masukan kepada Jaksa Agung terkait kasus Novel Baswedan, tetapi tidak ditanggapi. Padahal, sebagai pendamping korban tim advokasi berhak untuk mengetahui sekaligus berkontribusi terhadap proses hukum yang berjalan.
Saat ini, ia melanjutkan, tidak banyak hal yang secara formal dapat dilakukan oleh tim advokasi. Meski demikian, tim advokasi akan melakukan uji publik dengan menyampaikan proses dan perkembangan kasus tersebut kepada masyarakat. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim.
Tim advokasi juga masih mempertimbangkan kemungkinan melakukan gugatan secara perdata kepada institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Presiden. Namun, hal itu masih akan dipertimbangkan lebih jauh.