Nilai Aset Sitaan Rp 17 triliun dari Kasus Jiwasraya Berpotensi Turun
Aset terdakwa kasus dugaan korupsi Asuransi Jiwasraya yang disita mencapai Rp 17 triliun. Dalam kasus itu, penyitaan aset dilakukan untuk mengembalikan kerugian negara yang nilainya mencapai Rp 16,81 triliun.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Nilai aset yang telah disita penyidik Kejaksaan Agung dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) diperkirakan telah mencapai Rp 17 triliun. Namun, nilai tersebut dinilai berpotensi terus menurun selama persidangan perkara ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, ketika dihubungi, Kamis (4/6/2020), dari Jakarta, mengatakan, nilai aset dari para tersangka kasus dugaan korupsi Jiwasraya yang telah disita penyidik sampai saat ini mencapai Rp 17 triliun. Dalam kasus itu, penyitaan aset dilakukan untuk mengembalikan kerugian negara yang nilainya mencapai Rp 16,81 triliun.
“Iya, nilai (Rp 17 triliun) itu perkiraan dari perhitungan penyidik. Saat ini perkara sudah di pengadilan,” kata Hari.
Dalam perkara itu, enam terdakwa sudah menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (3/6). Enam terdakwa ialah Komisaris PT Hanson Internasional Beny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.
Menurut Hari, nilai aset sitaan yang mencapai Rp 17 triliun tersebut masih sementara dan bersifat fluktuatif. Sebab, nilai asset tersebut dapat berubah sesuai kondisi riil atau kondisi pasar pada saat aset ditaksir. Jika nantinya majelis hakim memutus untuk merampas aset tersebut, maka nilai aset tersebut masih dapat berubah karena terdapat mekanisme atau cara penghitungan tertentu untuk menaksir nilai aset tersebut.
Dari catatan Kompas, beberapa jenis aset yang telah disita penyidik antara lain ratusan bidang tanah, rekening di beberapa bank, saham, dan reksa dana. Ada pula aset sitaan berupa 41 kamar apartemen di Jakarta Selatan, perhiasan, kendaraan, sampai perusahaan.
Menurut Hari, aset sitaan berupa kendaraan bermotor kemungkinan besar akan mengalami penurunan nilai. Hal ini tak bisa dihindari karena nilai kendaraan bermotor akan terus turun. “Itulah dilematisnya barang bukti,” ujar Hari.
Pengelolaan aset
Pengajar Fakultas Hukum dari Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih, berpandangan, setiap kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang disertai penyitaan aset akan selalu menghadapi kemungkinan penurunan nilai aset. Padahal, untuk kasus seperti itu, barang yang disita biasanya berupa kendaraan bermotor yang biaya perawatannya tinggi sementara nilainya turun.
“Kita memang sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, yang diperlukan tidak hanya menghukum orang bersalah tetapi juga mengembalikan kerugian negara, yaitu UU tentang Perampasan Aset,” kata Yenti.
Menurut Yenti, di dunia internasional, penyitaan aset pada sebuah perkara diikuti dengan pengelolaan aset agar nilai aset terjaga. Di Indonesia, penyitaan kemudian hanya diikuti dengan penyimpanan aset, semisal disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan).
Di dunia internasional, penyitaan aset pada sebuah perkara diikuti dengan pengelolaan aset agar nilai aset terjaga. Di Indonesia, penyitaan kemudian hanya diikuti dengan penyimpanan aset, semisal disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara
Pentingnya pengelolaan aset terhadap barang sitaan tidak hanya terkait aset berupa kendaraan bermotor, tetapi juga aset sitaan berupa perusahaan atau pabrik, bahkan hotel. Menurut Yenti, aset semacam itu justru mesti dilanjutkan pengelolaannya oleh negara untuk memastikan kerugian negara bisa dikembalikan serta menghindari dampak negatif lain, seperti pemutusan hubungan kerja karyawannya.
Pemerintah, kata Yenti, sudah pernah beberapa kali membahas rencana membuat undang-undang tentang perampasan aset bersama para akademisi di bidang hukum. Namun, hal itu kandas karena tidak ada dorongan politik dari pengambil kebijakan.
“Kalau boleh mengingatkan, pada setahun pertama pemerintahan Pak Jokowi (Presiden Jokowi) di periode pertama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah memikirkannya. Tetapi meski sudah dibahas beberapa kali, gagasan itu kemudian hilang,” ujar Yenti.