Pandemi Covid-19 telah mengubah cara berkomunikasi masyarakat. Cara komunikasi yang berbeda juga dilakukan para politisi di DPR agar tetap terhubung dengan konstituen selama masa reses, yaitu dengan telekonferensi.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi penyakit Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonomi masyarakat. Pandemi mengubah pula cara politisi dan lembaga politik berkomunikasi serta melakukan fungsi-fungsinya, termasuk sosialisasi dan agregasi politik. Komunikasi kini tidak terbatas pada pertemuan tatap muka, tetapi juga lebih intens dilakukan dengan perantara teknologi secara jarak jauh.
Fenomena kebiasaan atau tatanan baru (new normal) dalam komunikasi politik ini, antara lain, ditunjukkan dengan perubahan tata cara rapat formal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rapat yang dulu disyaratkan hadir secara fisik kini dapat dilakukan dengan telekonferensi atau konferensi jarak jauh melalui aplikasi teknologi informasi. Institusi politik lainnya pun melakukan hal yang serupa, termasuk rapat kabinet yang dipimpin Presiden. Perubahan cara berkomunikasi ini mempertegas gelombang baru dalam komunikasi politik, selain juga membawa dampak ikutan lain yang kurang baik, seperti minimnya orisinalitas, emosi, dan kehangatan relasi antarmanusia.
Perubahan cara berkomunikasi ini mempertegas gelombang baru dalam komunikasi politik, selain juga membawa dampak ikutan lain yang kurang baik, seperti minimnya orisinalitas, emosi, dan kehangatan relasi antarmanusia.
Anggota DPR, yang juga Ketua DPP Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan, DPR berupaya mengatasi kendala yang disebabkan oleh penyakit Covid-19 agar tetap bisa menjalankan tugasnya di bidang pengawasan, penganggaran, dan legislasi.
”Untuk rapat-rapat sudah diatur di dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib dimungkinkan rapat virtual. Walaupun tidak akan sama kualitasnya dengan rapat fisik di DPR, paling tidak semua mekanisme pengambilan keputusan bisa berjalan,” katanya.
Menurut Habiburokhman, sejauh ini kekurangan rapat virtual adalah tidak bisa melibatkan semua anggota komisi. Rata-rata hanya memberikan kesempatan pada perwakilan fraksi, satu sampai dua orang setiap fraksi untuk berbicara. Adapun rapat fraksi dan arahan maupun diskusi antaranggota fraksi berjalan dengan menerapkan protokol korona.
Dalam masa reses ini, misalnya, Habiburokhman yang terpilih dari daerah pemilihan Jakarta Timur secara terbatas masih berusaha menemui konstituennya, tetapi dengan mematuhi protokol korona. Masa reses dimanfaatkan antara lain untuk memberikan bantuan sosial (bansos) kepada warga yang membutuhkan.
Sekalipun cara komunikasi politik berubah, pada dasarnya pertemuan fisik masih dianggap penting sekalipun terbatas dan dilakukan dengan menerapkan protokol korona.
Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, sekalipun cara komunikasi politik berubah, pada dasarnya pertemuan fisik masih dianggap penting sekalipun terbatas dan dilakukan dengan menerapkan protokol korona.
”Di DPP Golkar, misalnya, kami tetap menerima tamu. Ada kunjungan tamu di DPR juga tetap diterima, tetapi tentu harus mematuhi protokol korona. Di dalam ruang rapat, misalnya, hanya dibatasi 20 orang, sisanya mengikuti melalui virtual,” katanya.
Kendala teknis dalam pertemuan virtual, seperti gangguan jaringan atau persoalan alat dan teknologi, menurut Melki, memang beberapa kali terjadi. Namun, pada prinsipnya fungsi representasi anggota DPR dan tiga tugas utamanya tetap dapat dilaksanakan dalam kondisi pandemi.
”Beberapa kali kami juga melakukan rapat virtual dengan dipimpin Ketua Umum (Airlangga Hartarto),” katanya.
Untuk keperluan reses, karena ada anjuran untuk penjarakan sosial (social distancing), Melki melakukan penyerapan aspirasi publik dengan melibatkan timnya di lapangan. Sebab, karena terlanjur berada di Jakarta dan menjalani pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ia tidak leluasa pergi ke daerah pemilih (dapil) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Oleh karenanya, ia banyak dibantu oleh jaringan dan timnya di dapil dalam menyerap aspirasi publik, termasuk menyalurkan bantuan dan alat perlindungan diri (APD) untuk tenaga medis.
Gelombang baru komunikasi
Pengajar Komunikasi Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan, era komunikasi politik yang banyak memanfaatkan teknologi informasi atau perangkat digital pada dasarnya memang merupakan gelombang baru cara berkomunikasi antarmanusia dewasa ini. Teknologi digital yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan perjumpaan fisik menjadi nuansa baru dalam komunikasi politik dan tidak dapat diabaikan keberadaan serta perannya saat ini.
”Kanal ini mesti diperkuat. Para aktor politik baik di suprastruktur, yakni di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maupun di infrastruktur, baik di partai politik, figur, media, kelompok penekan, dan kelompok kepentingan, mesti mengadaptasi perubahan berbasis teknologi ini,” katanya.
Teknologi digital yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan perjumpaan fisik menjadi nuansa baru dalam komunikasi politik dan tidak dapat diabaikan keberadaan serta perannya saat ini.
Tidak hanya itu, new normal ini diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan. Oleh karenanya, saat pandemi ataupun sesudahnya semua aktor politik harus siap dengan fungsionalisasi komunikasi politik berbasis komunikasi digital secara lebih terencana dan sistematis terutama dalam berhubungan dengan para mitra dan publik.
”New normal itu menjadi pesan sekaligus praktik yang mesti mengubah pendekatan dalam komunikasi. Tak lagi cukup menggunakan komunikasi antarpribadi dan jaringan komunikasi organisasi, melainkan juga bisa dengan intens menyiapkan infrastruktur dan ekosistem baru dalam artikulasi dan agregasi politik mereka, yakni yang komunikasi terintegrasi,” katanya.
Di satu sisi, para aktor politik harus tetap bisa mengefektifkan komunikasi berbasis tatap muka (face-to-face). Akan tetapi, di sisi lain, politisi juga harus secara serius menyiapkan multiplatform komunikasi. Dengan demikian, peran dan fungsi para aktor politik ini tidak tergagap dan terkendala di situasi-situasi seperti pandemi saat ini.
Menurut Gun Gun, cara komunikasi baru ini tetap tak bisa menggantikan komunikasi manusiawi yang timbal balik dengan segala kompleksitasnya. Teknologi selalu terbatas dalam menciptakan kehangatan hubungan, orisinalitas, emosi, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan manusia. Teknologi pun memiliki kerentanan dalam pengamanan dan aksesibilitas. Di Indonesia, jaringan internet, misalnya, belum secara merata dapat dinikmati oleh rakyat. Kelebihannya, komunikasi dengan cara baru ini tidak terbatasi ruang dan waktu (borderless).
Cara komunikasi baru ini tetap tak bisa menggantikan komunikasi manusiawi yang timbal balik dengan segala kompleksitasnya. Teknologi selalu terbatas dalam menciptakan kehangatan hubungan, orisinalitas, emosi, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan manusia.
Meski demikian, komunikasi politik dengan hanya daring tidak cukup memadai karena sejatinya tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan komunikasi antarmanusia secara langsung.
”Nilai, budaya, emosi, kerangka referensi evaluatif berupa nilai dan kepentingan akan jauh lebih tergambar utuh dalam interaksi langsung. Komunikasi langsung maupun komunikasi yang termediasi mesti saling melengkapi satu sama lainnya,” katanya.