SMA Taruna Nusantara yang sempat gemilang di awal-awal kelahirannya justru meredup dalam perjalanannya. Kini upaya revitalisasi coba dilakukan. Namun, hal itu bukan perkara mudah. Sejumlah tantangan menghadang.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
Pengetahuan dan kecerdasan tak selalu berbanding lurus dengan karakter. Lulusan sekolah ternama, misalnya, saat menjadi pejabat publik, justru korupsi. SMA Taruna Nusantara di awal kelahirannya bisa menjawab persoalan itu. Namun, dalam perjalanannya, justru meredup. Upaya revitalisasi kini dirintis agar sekolah di Magelang itu kembali melahirkan anak-anak cerdas dan berkarakter.
Upaya untuk menciptakan kelompok-kelompok, terutama generasi muda, yang terdiri dari orang-orang terbaik telah beberapa kali dilakukan. Skema beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) menjadi contoh yang masih berjalan hingga saat ini. Akan tetapi, seperti telah disebut di atas, pengetahuan dan kecerdasan tidak selalu berbanding lurus dengan karakter.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo dalam perbincangan pertengahan Maret lalu mengatakan, perlu dibentuk kluster-kluster pool of excellence, yaitu kelompok-kelompok yang terdiri dari orang-orang terbaik, gabungan dari sipil dan militer, lepas dari kepentingan politik dan oligarki untuk membuat terobosan-terobosan yang futuristik.
Walau tidak perlu banyak, kluster-kluster ini tidak saja membuat konsep, tetapi juga merealisasikan konsep tersebut menjadi sistem yang nyata. Dengan keterbatasan dana dan teknologi, pembangunan sumber daya manusia yang spesifik atau berbentuk kluster bisa menjadi solusi untuk melompati realita.
Salah satu upaya itu pernah dicoba melalui SMA Taruna Nusantara yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Tahun 1993, dengan menggunakan APBN via Kementerian Pertahanan, dibangun sekolah berasrama yang mampu menampung hingga 300 siswa. Namun, tahun 2003 peraturan berubah. Sekolah itu harus lepas dari APBN.
Dalam kunjungan Kompas sekitar pertengahan 2019, disebutkan, kalau uang sekolah adalah Rp 4 juta per bulan dan uang pangkal Rp 40 juta. Cecep yang menjadi humas dengan bangga menyebutkan banyak alumnus Taruna Nusantara yang berjaya.
Brigadir Jenderal TNI (Purn) Soebagio yang saat itu menjadi kepala sekolah mengakui, sejak tidak didukung APBN, kondisi Taruna Nusantara tidak cemerlang seperti di tahun-tahun awal kelahirannya.
Angkatan pertama
Walau telah meredup, kecemerlangan SMA ini masih terlihat dari berbagai lulusannya. Angkatan-angkatan awal yang diseleksi murni tanpa kolusi dan nepotisme, misalnya, kini telah menjadi lapis menengah di berbagai instansi.
Kecemerlangan itu salah satunya terlihat dari Kolonel Pnb Andreas A Dhewo. Ia menggerakkan jaringan alumni SMA Taruna Nusantara saat akan mengadakan bakti sosial di Purbalingga, Januari-Maret lalu. Sebagai Asisten Potensi Dirgantara Koops TNI AU I, ia ingin membangun jaringan saluran dan sumber air bagi 1.665 keluarga.
Dukungan dana diperoleh dari sembilan BUMN. Sementara untuk teknis, ia meminta tolong Kolonel Pal Simon Petrus Kamlasi dari TNI AD, teman seangkatannya di SMA Taruna Nusantara. Ia juga meminta tolong Wicahyo Ratomo, adik kelas di Taruna Nusantara yang merupakan Presiden Direktur PT Ekasa Yad Resources yang bergerak di bidang pertambangan.
”Buat alumni TN (Taruna Nusantara), sesuai amanat prasasti, walau dalam hal yang kecil, harus berbuat bagi bangsa dan negara Indonesia di bidang masing-masing,” kata Andre.
Simon yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) ingat bagaimana ia pertama kali bisa masuk ke Taruna Nusantara dari desanya yang ada di pedalaman. Di bulan-bulan awal, ia berjuang mati-matian untuk bisa mengejar keunggulan siswa lainnya. Meski demikian, setiap malam, rekan-rekannya sangat membantu. Mereka belajar bersama hingga rutin berdiskusi. Salah satu yang diingatnya, seputar pelajaran fisika.
Manfaat dari hal itu dirasakan saat sudah masuk TNI. Simon sempat mendapat penghargaan dari TNI AD karena bisa membuat pompa di daerah-daerah kurang air dengan mengandalkan prinsip fisika. Alhasil, tak lagi dibutuhkan pompa yang butuh bahan bakar minyak.
Wicahyo Ratomo, yang lulus dari SMP Pangudi Luhur, Jakarta, sebelum mendaftar di Taruna Nusantara ingat bahwa semua proses gratis. Ia merasakan perbedaan mendasar di SMA TN karena siswa-siswanya berasal dari seluruh Indonesia.
Pendidikan intensif
Dengan perbandingan 30 siswa berbanding 1 guru, ia merasa proses pendidikan sangat intensif. Pendidikan karakter juga sangat kuat, salah satunya dengan doktrin yang ada di prasasti di TN, yaitu kejuangan, kebangsaan, dan kebudayaan.
”Kami jadi merasa bahwa setiap kita, apa pun profesinya, nanti ada sesuatu yang harus kita lakukan untuk negara ini. Itu yang kami sama-sama rasakan sampai sekarang,” kata pengusaha tambang ini.
Ia juga merasa bersyukur karena di TN ia bisa bertemu dengan siswa-siswa terbaik yang berasal dari seluruh Nusantara. Dengan seleksi yang ketat dan adil, semua siswa sama cerdasnya dan berlomba untuk menjadi yang terbaik.
Khasan Ashari, alumnus TN angkatan pertama, juga mengingat bagaimana seluruh siswa merasa senasib sepenanggungan karena sama-sama sekolah dari beasiswa. Ashari sendiri merasa beruntung karena orangtuanya sudah mewanti-wanti mereka tidak ada uang untuk membiayai Ashari lanjut ke SMA.
”Sempat juga gegar budaya, tiap sore teman-teman yang dari bagian timur Indonesia, kok, menyanyi saja. Terus saya juga, kan, SMP di kampung, jadi susah mengejar kualitasnya. Untung ada pendamping dan karena asrama kita bisa kapan pun ke rumah guru, kan, sekompleks,” cerita pegawai Kementerian Luar Negeri (Kemlu) ini.
Ia pun ingat, Pancasila benar-benar diterapkan di sekolah. Begitu pula isi prasasti yang menurut dia menjadi bentuk indoktrinasi yang positif bagi ia dan 270 siswa angkatan pertama.
Ditambah lagi, kuliah umum yang rutin dilakukan. Kuliah umum yang mengundang menteri atau tokoh-tokoh bangsa lainnya memberikan wawasan dan impian yang besar bagi para siswa tentang Indonesia. ”Saya pikir revitalisasi bisa dilakukan kalau memang semangatnya sama. Bebas biaya sehingga aturan bisa ikut ditegakkan,” katanya.
Tugas revitalisasi
Kepala Lembaga Perguruan Taman Taruna Nusantara (LPTTN) Sugiono yang ditugasi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk merevitalisasi TN menyadari tugasnya tidak mudah.
Ia mengingat, prinsip utama saat pertama kali berdiri, tujuan didirikannya TN adalah investasi sumber daya manusia. Dengan demikian, seleksi untuk masuk TN begitu ketat dan, ketika sudah masuk di dalamnya, pembelajaran bagi para siswa juga intensif dilakukan.
Alumnus TN ini ingat pula dulu ada perpaduan antara kehidupan asrama dan seleksi yang meliputi kebugaran, kemampuan akademis, dan psikologis.
Akan tetapi, perubahan sistem membuat TN tidak bisa lagi didanai APBN. Seiring dengan itu, kualitas menurun.
”Mulai bayar itu angkatan ke-13 dari total 27 angkatan,” kenang Sugiono.
Dalam upaya merevitalisasi TN, Prabowo minta agar TN lebih fokus pada ilmu alam, teknologi, keinsinyuran, dan matematika. Sugiono sempat ingin melakukan pengosongan TN selama tiga tahun sehingga setelah menghabiskan siswa yang saat ini masih sekolah, sistem bisa dimulai dari nol. Akan tetapi, karena pertimbangan finansial, hal ini tidak bisa dilakukan.
”Saat ini memang penentunya ada di pendanaan, kira-kira dibutuhkan 4-5 miliar dana operasional per bulan,” kata Sugiono. Dengan kemampuan finansial yang ada saat ini, ia hanya mampu memberi beasiswa kepada 160 siswa, atau setengah dari total siswa TN.
Meski dihadapkan pada persoalan finansial, revitalisasi terus diupayakan. Salah satunya, akan ada peninjauan terhadap guru-guru yang ada. Adapun yang sudah berhasil dilakukan adalah tes secara daring untuk mencegah adanya ”titipan” dari pejabat yang ingin anaknya masuk TN.
Tidak mudah memang berinvestasi pada sumber daya manusia karena kompleksitas yang tinggi. Akan tetapi, hal ini harus dilakukan agar ada lompatan kemajuan yang dilakukan bangsa Indonesia.