Komnas HAM meminta agar pemerintah lebih serius mengupayakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Gugatan ke PTUN oleh keluarga korban harusnya jadi peringatan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gugatan keluarga korban tragedi Semanggi I dan II merupakan peringatan bagi Jaksa Agung dan pemerintah agar tidak menganggap remeh dalam menangani persoalan hak asasi manusia. Jaksa Agung sebagai bagian dari lembaga penegakan hukum diminta agar bertindak dalam koridor hukum.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin Al Rahab, ketika dihubungi, Rabu (13/5/2020), mengatakan, gugatan keluarga korban tersebut harus diapresiasi. Sebab, cara tersebut merupakan langkah yang sehat dalam memperjuangkan haknya.
”Cara itu sekaligus menjadi peringatan kepada Jaksa Agung agar lebih hati-hati menyikapi persoalan HAM. Jangan menganggap enteng persoalan HAM dengan pernyataan-pernyataan seperti itu,” kata Amiruddin.
Cara itu sekaligus menjadi peringatan kepada Jaksa Agung agar lebih hati-hati menyikapi persoalan HAM. Jangan menganggap enteng persoalan HAM dengan pernyataan-pernyataan seperti itu.
Kemarin, Selasa (12/5), Keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, yaitu Semanggi I dan II, menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan terkait dengan pernyataan jaksa agung saat rapat dengan Komisi III DPR, 16 Januari 2020, yang menyatakan Semanggi I dan Semanggi II bukan kasus pelanggaran HAM berat.
Gugatan dilakukan oleh Maria Katarina Sumarsih, ibu dari almarhum Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, dan Ho Kim Ngo, Ibu dari almarhum Yap Yun Hap. Mereka didampingi oleh pengacara dari Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II (Kontras, Amnesty Internasional Indonesia, YLBHI, LBH Jakarta, AJAR).
Menurut Amiruddin, langkah keluarga korban tersebut juga menjadi alarm bagi Presiden yang telah memilih Jaksa Agung, agar menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Demikian pula ketika Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan II sebagai pelanggaran HAM berat, hal itu didasarkan pada penyelidikan berdasarkan perintah UU No 26/2000 tersebut.
”Presiden jangan terlalu banyak berkilah, jalankan saja sesuai UU. Karena Komnas HAM melaksanakan penyelidikan itu karena perintah UU, bukan keinginannya sendiri. Presiden bersama DPR sebagai pembuat UU harusnya paham UU itu,” ujar Amiruddin.
Sudah saatnya pemerintah atau Presiden membuat suatu formula tertentu untuk memberikan penghargaan dalam kerangka kemanusiaan kepada keluarga korban.
Terkait dengan hal itu, Amiruddin melanjutkan, sudah saatnya pemerintah atau Presiden membuat suatu formula tertentu untuk memberikan penghargaan dalam kerangka kemanusiaan kepada keluarga korban. Terlebih, sebenarnya yang menjadi korban adalah bangsa Indonesia yang kehilangan ruang untuk mengekspresikan diri dan ruang untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Sebab, kata Amiruddin, selama 22 tahun, bangsa ini hanya berkutat pada persoalan pelanggaran HAM yang sama tanpa kemajuan berarti.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, ketika dihubungi, mengatakan, Kejaksaan Agung belum menerima konfirmasi tentang gugatan terhadap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Kejagung siap menghadapi gugatan tersebut setelah materi gugatan diterima.
”Tentu kami akan pelajari materi gugatannya. Dan biasanya Jaksa Agung akan memberikan kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara untuk menghadapi gugatan tersebut,” kata Hari.