Persetujuan Perppu No 1/2020 Berpotensi Cacat Prosedur
Proses persetujuan Perppu No 1/2020 oleh Banggar DPR yang dilakukan tanpa melakukan pembahasan yang melibatkan publik dinilai berpotensi cacat prosedur.
JAKARTA, KOMPAS — Hanya dalam waktu sehari, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat kerja bersama dengan pemerintah, sekaligus memberikan putusan atas persetujuan tingkat pertama terhadap Rancangan Undang-Undang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi UU. Pembahasan yang dikebut itu berpotensi cacat prosedur karena tidak melibatkan publik dalam pembahasannya.
Rapat Banggar DPR yang dipimpin oleh Ketua Banggar Said Abdullah, Senin (4/5/2020), berlangsung hingga pukul 22.34 WIB. Dari sisi pemerintah, menteri yang memberikan keterangan ialah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Selain itu, hadir pula Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Rapat berlangsung secara maraton sejak pukul 12.00 dan diskors pukul 16.00. Rapat kemudian diteruskan pukul 20.00, yang diakhiri dengan pengambilan putusan persetujuan pembahasan RUU tingkat pertama. Sembilan perwakilan fraksi pun menyampaikan pandangan minifraksi terhadap Perppu No 1/2020.
Dengan disetujuinya pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU, selanjutnya Banggar dapat mengajukan pembahasan RUU ke tingkat kedua, yakni persetujuan di dalam rapat paripurna yang agendanya dijadwalkan kemudian.
Dari sembilan fraksi di DPR, delapan fraksi menerima dan menyetujui Perppu No 1/2020 sekalipun mereka juga memberikan sejumlah catatan. Sementara itu, satu fraksi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyatakan menolak Perppu No 1/2020. Fraksi PKS beralasan, susbtansi perppu tersebut berpotensi melanggar konstitusi karena ada pasal-pasal yang cenderung bertentangan dengan UUD 1945.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan RUU harus melibatkan publik, antara lain dengan mengadakan rapat dengar pendapat umum yang melibatkan para pihak yang berkepentingan. Namun, praktik yang terjadi di dalam pembahasan Perppu No 1/2020 pada Senin malam menunjukkan tidak adanya pelibatan publik dalam pembahasan tingkat pertama. Bahkan, ada kesan untuk menerapkan ”sistem kebut semalam”.
”Ada potensi cacat prosedur pembahasan perppu, Senin malam. Meskipun ada kehadiran perwakilan fraksi dan masing-masing telah memberikan pendapatnya, tetapi DPR tidak membuka ruang partisipasi publik, sebagaimana diatur oleh UU No 12/2011. Dari aspek formil, ini cukup aneh karena persetujuan tingkat pertama dilakukan dengan sistem kebut semalam,” katanya yang dihubungi pada Selasa (5/5/2020) dari Jakarta.
Pembahasan Perppu No 1/2020 pada Senin malam menunjukkan tidak adanya pelibatan publik dalam pembahasan tingkat pertama. Bahkan, ada kesan untuk menerapkan ”sistem kebut semalam”.
Pemberian persetujuan tingkat pertama yang sangat cepat terhadap Perppu No 1/2020, menurut Bayu, di luar harapan publik karena perppu tersebut selama ini mendapatkan banyak respons bahkan kritis dari publik. Banyak pasal yang mestinya didalami dengan saksama oleh anggota DPR. Namun, pada kenyataannya, DPR langsung mengambil putusan hanya dalam satu kali pertemuan rapat kerja dengan pemerintah.
Baca juga : Menkeu: Pasal 27 Perppu No 1/2020 Bukan Pasal Imunitas
Di sisi lain, pembahasan RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU dalam masa sidang saat ini juga memantik pertanyaan karena sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945, persetujuan terhadap perppu diberikan pada masa sidang berikutnya. Jika merujuk makna gramatikal pada konstitusi, menurut Bayu, seharusnya persetujuan tingkat pertama ataupun tingkat kedua dalam pembahasan RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU dilakukan pada masa sidang berikutnya, bukan pada masa sidang ini.
”Jikalau memang DPR berpandangan persetujuan terhadap perppu itu secara resmi dilakukan setelah diketok dalam pembahasan tingkat kedua, atau dalam rapat paripurna, maka paripurna itu harus dilakukan di masa sidang berikutnya, bukan pada masa sidang ini,” lanjutnya.
Konstitusi memberikan ruang kepada DPR untuk menyetujui perppu pada masa sidang berikutnya dengan logika pada masa sidang yang berlangsung itu DPR tidak dapat bersidang karena kondisi negara dalam kondisi bahaya. Pembentukan UU, menurut Bayu, tidak dapat dilakukan dengan cara normal karena DPR diasumsikan tidak dapat bersidang sebagaimana mestinya.
”Namun, kalau ternyata persetujuan DPR itu diberikan pada masa sidang ini, kenapa harus ada perppu. Artinya, DPR bisa bersidang, dan kenapa tidak mengajukan RUU saja untuk dibahas bersama dengan DPR, dan kenapa menerbitkan perppu,” ujar Bayu.
Kalau ternyata persetujuan DPR itu diberikan pada masa sidang ini, kenapa harus ada perppu. Artinya, DPR bisa bersidang, dan kenapa tidak mengajukan RUU saja untuk dibahas bersama dengan DPR, dan kenapa menerbitkan perppu.
Persetujuan yang diberikan DPR pada masa sidang ini sekaligus menggugurkan salah satu syarat perppu, yakni keadaan genting yang memaksa. Artinya, keluarnya perppu itu tidak sesuai dengan yang disyaratkan oleh konstitusi.
Setuju dengan catatan
Sementara itu, dalam rapat Banggar pada Senin malam, sejumlah fraksi menyetujui dengan sejumlah catatan. Secara umum fraksi-fraksi menilai, ada pasal yang berpotensi menghilangkan hak DPR dalam menyusun anggaran atau hak budgeting karena perubahan postur anggaran bisa diubah hanya dengan peraturan presiden (perpres) dalam Perppu No 1/2020. Namun, dengan catatan itu, secara umum fraksi-fraksi mengatakan bisa memahami dan menerima perppu yang dibuat oleh pemerintah dengan melihat kondisi pandemi yang berlangsung.
Fraksi-fraksi juga secara umum menyoroti muatan Pasal 27 Perppu No 1/2020 yang dipandang bisa memberikan imunitas kepada penyelenggara anggaran Covid-19 karena tidak bisa dipidana dan digugat secara perdata.
”Kami dapat memahami apabila pemerintah mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa untuk mengantisipasi Covid-19. Namun, dengan catatan perppu itu tidak bertentangan dengan konstitusi, TAP MPR, UU yang setara, dan peraturan lainnya. Pemerintah harus sigap memastikan pemutusan masa penuntasan Covid-19 dan penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) harus disertai sanksi tegas,” tutur anggota Banggar dari Fraksi Partai Gerindra, Soepriyatno.
Fraksi-fraksi juga secara umum menyoroti muatan Pasal 27 Perppu No 1/2020 yang dipandang bisa memberikan imunitas kepada penyelenggara anggaran Covid-19 karena tidak bisa dipidana dan digugat secara perdata.
Anggota Banggar dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Siti Mukaromah, juga menegaskan catatan agar dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, 2022, dan 2023, DPR tetap dilibatkan oleh pemerintah. Pembahasan itu dilakukan dengan cara pengajuan RUU APBN oleh pemerintah kepada DPR.
Anggota Banggar DPR yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan, fraksinya meminta Pasal 27 sebaiknya dikeluarkan dari Perppu No 1/2020 sehingga tidak menimbulkan anggapan imunitas kepada pejabat negara yang mengelola anggaran. Kalaupun yang dijadikan landasan untuk pejabat bertindak ialah itikad baik, Demokrat mengingatkan agar hal itu tidak dijadikan dalih bagi pendompleng (free rider) yang berusaha mengambil keuntungan dari jaminan tersebut.
Sementara itu, anggota Banggar dari Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam, menilai perppu itu berdampak buruk pada sistem keuangan sehingga fraksinya menolak perppu tersebut. Di sisi lain, ia mengemukakan adanya pasal-pasal yang berpotensi melanggar konstitusi, seperti penghilangan hak anggaran DPR.
”Perppu telah membuka banyak ruang terbuka yang berbahaya bagi sistem keuangan kita. Kekuasaan tak terbatas KKSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), kekebalan hukum, dibukanya peluang kebijakan bail-out dan blanket guarantee (penjaminan penuh) adalah contoh-contohnya. Ini sangat berbahaya,” katanya.
Perppu telah membuka banyak ruang terbuka yang berbahaya bagi sistem keuangan kita. Kekuasaan tak terbatas KKSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), kekebalan hukum, dibukanya peluang kebijakan bail-out dan blanket guarantee (penjaminan penuh) adalah contoh-contohnya. Ini sangat berbahaya.
Saat ini, perppu tersebut juga tengah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terkait hal ini, menurut Bayu, pengujian oleh MK tetap dapat dilakukan sepanjang obyek perkaranya tidak gugur. Obyek perkara uji materi berupa perppu itu akan gugur manakala perppu tersebut telah disahkan dan diundangkan sebagai UU atau telah diberi nomor sebagai UU. Dengan demikian, masyarakat atau pemohon harus mengajukan pengujian terhadap UU tersebut karena obyek perkara berupa perppu telah hilang.
Baca juga : MK Minta Pemohon Pertajam Dalil Kerugian Konstitusional