Antara Kepastian Anggaran dan Penundaan Pilkada 2020
Agar pemerintah daerah tidak pusing dan dapat fokus pada penanganan Covid-19, pilkada paling realistis diselenggarakan tahun 2021. Apalagi, pilkada ini diprediksi diikuti banyak calon petahana.
Tahun 2020, sedianya 270 daerah di Indonesia akan melaksanakan kontestasi politik pilkada serentak. Namun, karena penyakit akibat virus korona baru atau Covid-19 terus menyebar, pilkada pun diputuskan ditunda. Tahun ini, anggaran pemda pun banyak direalokasikan untuk penanganan Covid-19. Lalu, bagaimana dengan kepastian anggaran pilkada di masa pandemi ini?
Penyebaran Covid-19 di Indonesia semakin luas dan masif dari hari ke hari. Saat ini, Covid-19 sudah menyebar ke semua provinsi di Indonesia. Data dari Kementerian Kesehatan sampai dengan Minggu (19/4/2020) tercatat 6.575 kasus positif Covid-19. Sebanyak 582 di antaranya meninggal. Covid-19 juga telah membawa dampak serius terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus merasionalisasi anggaran untuk penanganan Covid-19; baik dari sisi kesehatan maupun dampak ekonomi dan sosial.
Selain mengucurkan dana lewat APBN, pemerintah pusat juga meminta pemda merealokasi anggarannya untuk tiga program prioritas. Tiga program prioritas yang diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian itu adalah penanganan kesehatan, dampak ekonomi, dan jaring pengaman sosial.
Pemda harus menyisir anggarannya. Kegiatan yang harus dipotong sesuai Surat Keputusan Bersama Mendagri dan Menteri Keuangan itu adalah biaya perjalanan dinas, rapat, pengadaan kendaraan dinas, pembangunan gedung baru, dan infrastruktur. Pemotongan dilakukan minimal 50 persen dari anggaran kegiatan tersebut.
Baca juga: Konten Perppu Perlu Fokus pada Pilkada 2020
Meskipun demikian, realokasi dana APBD ini pun mengalami sejumlah kendala. Beberapa daerah memiliki keterbatasan ruang fiskal, dan bergantung dengan dana transfer dari pusat. Selain itu, juga komitmen dari kepala daerah dan DPRD untuk mengutamakan anggarannya demi penanganan Covid-19.
Kemudian, dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II akhir Maret lalu, muncul wacana agar dana pilkada serentak 2020 dialihkan untuk penanganan Covid-19. Penanganan Covid-19 dinilai lebih mendesak karena berhubungan dengan keselamatan masyarakat.
Namun, hingga saat ini, wacana tersebut belum memiliki payung hukum yang kuat. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, penyerahan dana sisa pilkada kepada kepala daerah harus diatur dalam norma hukum tertentu. Penyerahan dana sisa pilkada dapat diatur dalam perppu penundaan pilkada maupun peraturan Menteri Dalam Negeri.
Dana yang terlanjur dipakai dalam tahapan pilkada sebaiknya diatur atau dijamin keabsahannya oleh peraturan sehingga tidak ada pertanyaan mengenai dana pilkada 2020 (Kompas, 31 Maret 2020).
Namun, dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri memiliki pandangan berbeda. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah M Ardian Noervianto mengatakan, dana pilkada dapat dialihkan untuk penanganan Covid-19 dengan catatan pilkada tidak jadi diselenggarakan tahun ini.
Dalam rapat dengar pendapat terakhir di DPR, Komisi II, Kemendagri, dan penyelenggara pemilu untuk sementara menyepakati pilkada ditunda pelaksanaannya pada 9 Desember 2020. Artinya, anggaran pilkada di APBD tidak akan dialihkan ke kegiatan lain.
Pemilihan opsi penundaan pada 9 Desember 2020 itu pun belum final. Komisi II DPR, Kemendagri, dan penyelenggara pemilu masih akan melihat perkembangan situasi terkini. Mereka akan kembali menggelar rapat setelah masa kedaruratan tertentu dicabut oleh gugus tugas percepatan penanganan Covid pada 29 Mei.
Terhadap kemungkinan mundurnya pelaksanaan pilkada, Ardian mengatakan, kemungkinan itu harus disiapkan oleh masing-masing pemda. Dari sisi anggaran, apakah dana pilkada bisa dilanjutkan (carry over) di tahun anggaran 2021?
”Ini semua tergantung dari perppu penundaan pilkada, serta bagaimana KPU mendesain penundaan. Dengan kepastian itu, tentu pemda dapat memutuskan bagaimana bersikap terhadap anggaran pilkada di APBD,” kata Ardian.
Ditunggu-tunggu
Kepastian hukum ataupun skenario dan waktu penundaan pilkada itu yang ditunggu sejumlah kalangan. Para pemangku kepentingan baik DPR, KPU, Bawaslu, maupun Kemendagri diminta bijak dan berkomunikasi dengan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19.
Komunikasi itu penting dilakukan untuk lebih dahulu mengetahui prasyarat sebelum memutuskan penundaan pilkada 2020. Kalangan masyarakat sipil skeptis terhadap pemilihan tanggal 9 Desember 2020 yang dianggap terlalu optimistis di tengah pandemi yang tidak pasti. Sejumlah kajian, termasuk dari Bawaslu RI, bahkan mengatakan bahwa pilkada paling realitis dilakukan di 2021.
Bagaimana konsekuensi anggaran jika pilkada dilaksanakan tahun 2021? Apalagi, di tahun itu kemungkinan kemampuan keuangan daerah sedang terpuruk karena penurunan pendapatan baik dari pendapatan asli daerah maupun dana transfer pusat.
Ardian mengatakan, melihat konsekuensi tersebut, akan lebih baik jika dana pilkada dilanjutkan (carry over) ke 2021. Hal ini akan memberikan kepastian pendanaan pilkada jika memang mengerucut wacana pilkada ditunda ke 2021.
Perppu penundaan pilkada dan peraturan di bawahnya harus sudah pasti dan selesai sebelum persetujuan perda APBD. Biasanya, daerah melakukan persetujuan APBD dengan DPRD sekitar November.
Saat ini, posisi anggaran pilkada di 270 daerah yang menggelar pilkada masih dibekukan penggunaannya. Anggaran pilkada di Kota Depok, Jawa Barat, misalnya, mulai dibekukan per 1 April setelah ada surat dari Sekretaris Jenderal KPU tentang penundaan pilkada. Depok merupakan salah satu kota yang termasuk zona merah dan menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Depok juga dijadwalkan menggelar pilkada serentak pada 2020 ini.
Ketua KPU Kota Depok Nana Shobarna mengatakan, hingga saat ini anggaran pilkada dalam kondisi siap pakai dan belum diutak-atik untuk penanganan Covid-19. Total anggaran pilkada di Depok Rp 60,2 miliar. Sampai saat ini, juga belum ada wacana dari Pemkot dan DPRD Kota Depok untuk mengalihkan dana pilkada ke belanja tak terduga (BTT) untuk penanganan Covid-19.
Namun, jika nantinya ada keputusan dana pilkada dialihkan untuk penanganan Covid-19, Nana menilai, tidak ada alasan KPU untuk menolak. Semua pihak tentunya akan lebih mengedepankan unsur kemanusiaan dan mengutamakan penanganan Covid-19.
”Saat ini, posisinya baru 40 persen dari total keseluruhan dana yang ditransfer ke KPU. Sebanyak 60 persen sisanya masih di kas Pemkot Depok,” kata Nana.
Alihkan ke APBN
Di sisi lain, hasil kajian Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Netgrit, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Rumah Kebangsaan menunjukkan pilkada dinilai paling baik dilakukan setelah Juni 2021 dengan mempertimbangkan anggaran, waktu, situasi sosial masyarakat, dan masa akhir jabatan kepala daerah.
Selain itu, hasil kajian juga mengusulkan agar perppu penundaan pilkada juga mengatur anggaran pilkada agar tidak lagi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tetapi bersumber dari APBN.
Direktur Pusako Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengatakan, usulan itu sudah didasarkan pada putusan MK Nomor 55/2020. Dalam putusan itu disebutkan, pilkada ditempatkan kembali pada rezim pemilu. Karena itu, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota mestinya dapat menggunakan APBN. Dalam konteks ini, dapat disinambungkan pembagian antara APBN dan APBD.
Apalagi, dalam praktiknya, proses penyelenggaraan pilkada di daerah kerap terhambat dengan proses pendanaan. Saat gubernur, bupati, dan wali kota tidak lagi terlibat dalam pilkada, proses pembahasan anggaran itu cenderung lambat. Hal itu akhirnya menghambat penyelenggara pemilu di daerah. Untuk mengantisipasi agar tidak ada ikut campur politik anggaran dalam penyelenggaraan pilkada, anggaran pilkada paling tepat dibebankan ke APBN.
”Agar proses penyelenggaraan pemilu kepala daerah lancar, dan tidak bermasalah di penggunaan anggaran. Dan, penyelenggara pemilu dapat tepat waktu bergerak sesuai tahapan dan tidak pusing soal anggaran,” kata Feri.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, dari kacamata anggaran rata-rata anggaran pilkada di 270 daerah sudah masuk dalam APBD 2020. Namun, dia mempertanyakan apakah anggaran tersebut dapat terealisasi mengingat pendapatan daerah saat ini mengalami penurunan karena terdampak Covid-19.
Ada kemungkinan, dana yang sudah direncanakan tidak bisa terealisasi karena penerimaan daerah turun. Jika dana dialihkan ke penanganan Covid-19, kemungkinan anggaran juga tidak akan cukup untuk pelaksanaan Pilkada 2020.
Meski demikian, jika pilkada ditunda pelaksanannya hingga 2021, kemungkinan perekonomian tidak akan segera pulih setelah terpukul akibat Covid-19. Jadi, dilihat dari perspektif anggaran, pilkada serentak paling realistis dilaksanakan di pengujung 2021. Sebab, diasumsikan pada masa itu sudah ada perbaikan penerimaan daerah. Selain itu, pemda juga dapat memakai anggaran transfer dari pusat.
”Supaya daerah tidak pusing, dan dapat fokus ke penanganan Covid-19, paling realistis pilkada diselenggarakan pada 2021. Itu dari sisi keamanan lebih tenang dan kondisi keuangan pun lebih mendukung daripada tahun ini,” ujar Djohermansyah.
Apalagi, lanjut Djohermansyah, dari 270 daerah yang akan melakukan pilkada serentak, diperkirakan terdapat 224 calon petahana yang maju. Ada kemungkinan, petahana akan terpecah konsentrasinya untuk penanganan Covid-19 dengan kampanye.
Saat ini, masing-masing kepala daerah itu menjabat sebagai ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah. Jika tidak ada intervensi dari penyelenggara pemilu soal mekanisme kampanye, ada kemungkinan fokus kepala daerah akan terpecah.
Selain itu, dari sisi keselamatan warga dan penyelenggara pemilu, pelaksanaan pilkada di 2020 juga mengkhawatirkan. Sebab, hingga saat ini prediksi puncak pandemi dari masing-masing institusi berbeda-beda. Dengan kondisi yang masih mengancam itu, dikhawatirkan partisipasi pemilih dalam kontestasi itu akan rendah.