Kedepankan Transparansi dan Akuntabilitas Dana Bencana Covid-19
Dana bencana Covid-19 yang dialokasikan pemerintah senilai Rp 405 triliun rentan diselewengkan. Pemerintah diminta mengedepankan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realokasi anggaran yang dilakukan tergesa-gesa dan tidak transparan untuk mengatasi pandemi Covid-19 membuat dana Rp 405 triliun itu rentan disalahgunakan. Pemerintah tetap perlu mengedepankan akuntabilitas dan transparansi dalam mengelola anggaran, sementara pejabat publik diharapkan untuk mengedepankan etika.
Hal ini mengemuka dalam diskusi daring yang diadakan Indonesia Corruption Watch dengan tema ”Konflik Kepentingan dalam Mengelola Program dan Anggaran Negara”, Jumat (17/4/2020), yang diikuti antara lain oleh Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW Siti Juliantari Rachman, peneliti ICW Wana Alamsyah dan Egi Primayoga, serta Program Officer Westminster Foundation for Democracy Ravio Patra.
Siti Juliantari mengatakan, kecepatan memang menjadi isu utama dalam penyediaan dana untuk mengatasi wabah Covid-19 yang penyebarannya kian massif. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk mengesampingkan akuntabilitas dan transparansi.
Menurut dia, dana tersebut rentan diselewengkan karena memang ada masalah dengan data. Tidak ada integrasi data yang jelas antara kementerian dan lembaga lain, seperti Badan Pusat Statistik atau antara pemerintah pusat dan daerah.
”Jangan sampai isu kecepatan demi pandemik itu jadi tameng untuk menutup info. Misalnya, selama ini sudah berapa APD yang diimpor pemerintah, kita tidak tahu datanya karena datanya tersebar di mana-mana,” kata Tari.
Ia juga menyoroti aturan tentang imunitas pejabat yang ada di Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Menurut dia, klausul imunitas untuk pejabat publik yang tidak bisa digugat perdata ataupun dituntut pidana tidak bisa diterima.
Ravio Patra menyoroti konflik kepentingan yang disoroti berbagai pihak belakangan ini, yaitu melibatkan staf khusus kepresidenan. Tindakan para staf khusus tersebut menunjukan tidak ada etika politik yang dipegang. Akibatnya, tidak ada standar yang jelas untuk sebuah tindakan yang dilakukan seorang pejabat publik. Selain itu, juga tidak ada pemisah antara sosok seorang sebagai pejabat publik dan sebagai pribadi.
Sebelumnya, dua anggota staf khusus Presiden, yaitu Andi Taufan Garuda Putra dan Adamas Belva Syah Devara, mendapat kritik dari publik. Andi dituding menyalahgunakan jabatan dengan mengirimkan surat berkop Sekretariat Kabinet kepada camat seluruh Indonesia agar mereka mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) demi melawan Covid-19 yang dilakukan perusahaan pribadi Andi. Sementara Belva disoroti sebagian kalangan karena penunjukan perusahaan miliknya untuk menjadi salah satu mitra pelatihan daring beranggaran Rp 5,6 triliun, dari total anggaran Rp 20 triliun, dalam program Kartu Prakerja. Andi sudah meminta maaf dan mencabut surat tersebut, sementara Belva membantah keterlibatan perusahaan miliknya sesuai prosedur dan dirinya tak terkait dengan hal itu (Kompas, 16/4/2020).
Tidak adanya etika dalam hal ini juga dikritik oleh Egi Primayoga. Menurut dia, sangat disesalkan karena para staf khusus yang disebut berasal dari generasi milenial ini ternyata masih mengadopsi nilai-nilai dari penguasa Orde Baru. Ia menilai tidak relevan antara Kartu Prakerja dan kondisi ekonomi saat ini di mana banyak orang dipecat. Kartu Prakerja juga bisa karena hanya bisa digunakan oleh orang-orang yang punya internet yang menurut dia tidak mencakup seluruh pekerja informal.
”Kalau memang pemerintah mau bantu sektor informal, bukan prakerja yang dibutuhkan, melainkan BLT (bantuan langsung tunai) walaupun itu nanti ada masalah data juga,” katanya.