Beredarnya surat Sekjen DPR terkait uang muka mobil anggota DPR periode 2019-2024 melukai hati rakyat. Anggaran itu telah dialihkan untuk penanganan Covid-19, tetapi kritik atas pengelolaan anggaran mencuat.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Surat edaran itu dikeluarkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan, yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) ketentuan tersebut. ”Fasilitas uang muka untuk pembelian kendaraan perorangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan per periode masa jabatan dan diterima setelah 6 (enam) bulan sejak dilantik.” Sehubungan dengan itu, setiap anggota DPR akan menerima Rp 116.650.000 sebagai uang muka pembelian mobil.
Tidak lama setelah surat itu beredar, Sekjen DPR Indra Iskandar buru-buru menegaskan, uang muka itu tidak jadi diberikan karena anggaran telah dialihkan untuk penanganan Covid-19. Anggaran DPR dikurangi Rp 220 miliar untuk penanganan Covid-19.
”Itu sudah di-pending. Sesuai Perpres No 54/2020, anggaran DPR juga dipotong untuk penanganan Covid-19 nasional. Anggarannya dialihkan untuk program lain, khususnya penanganan Covid-19,” katanya.
Terlepas dana itu urung disalurkan, anggaran ini jadi salah satu penanda tata kelola anggaran negara yang memberikan banyak kemurahan hati kepada elite.
Indra mengatakan, informasi soal perpres itu disampaikan Kepala Biro Keuangan DPR yang baru mendapatkan informasi soal pengalihan anggaran. Namun, secara fisik, perpres itu memang belum diterima Sekretariat Jenderal DPR.
Terlepas dana itu urung disalurkan, anggaran ini jadi salah satu penanda tata kelola anggaran negara yang memberikan banyak kemurahan hati kepada elite. Hal itu bahkan dicantumkan dalam perpres dan diberikan setiap periode masa jabatan. Dana ini bukan hanya untuk anggota DPR, melainkan juga pejabat di lembaga negara lainnya.
Dengan jumlah anggota DPR 575 orang, dan setiap anggota memperoleh Rp 116.650.000, uang negara untuk uang muka mobil anggota DPR Rp 67 miliar. Penundaan pencairan uang itu melegakan, tetapi aturan yang mendasari pemberian uang itu tidak dicabut. Dengan demikian, saat situasi normal, uang muka mobil itu akan dicairkan.
Berdasarkan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) yang dirilis 24 Juli 2017, tunjangan dan gaji DPR terbaru dinilai sudah layak, sebagaimana diatur melalui Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015. Surat itu mengatur detail gaji pokok dan tunjangan anggota DPR yang dibedakan antara ketua, wakil ketua, dan anggota biasa.
Jika gaji pokok dan berbagai tunjangan dijumlahkan, tiap bulan anggota merangkap ketua mendapat sekitar Rp 80.327.413, anggota merangkap wakil ketua Rp 74.847.613, dan anggota Rp 66.141.813. Angka itu belasan kali lipat lebih tinggi daripada upah minimum regional di Jakarta Rp 4.276.349 tahun 2020.
Tunjangan serta uang muka mobil itu, menurut Sekjen Sekretariat Nasional Fitra Misbah Hasan, menggambarkan tata kelola anggaran negara yang masih berorientasi pada elite dan birokrasi. Anggaran untuk rakyat sebagaimana kerap didengungkan selama ini belum sepenuhnya tergambarkan pada alokasi anggaran.
Dia mengatakan, patut dicatat, pemberian berbagai tunjangan itu tak hanya untuk pejabat di tingkat pusat. Pejabat di tingkat daerah juga menerima tunjangan dan fasilitas dengan nominal berbeda.
Saat keluar Perpres No 54/2020, lanjut Misbah, ada anggaran Rp 73 triliun yang bisa direalokasikan, bahkan dipotong, untuk penanganan Covid-19. Dalam kondisi darurat semacam ini, negara baru menyadari, betapa banyak ”pemborosan” yang tak perlu. Wabah Covid-19 menjadi kesempatan merealokasi anggaran yang bersifat pemborosan. Aturan yang menjadi dasar pemberian berbagai tunjangan pejabat perlu dievaluasi.
Di sisi lain, ujarnya, ini momen pembuktian anggota DPR dan pejabat lembaga negara lainnya bahwa mereka mengabdi atau melayani masyarakat, bukan untuk menikmati fasilitas negara.
Di tengah wabah Covid-19 dan kesulitan rakyat banyak, sejumlah anggota DPR tergerak hatinya untuk membantu. Dalam rapat paripurna 30 Maret 2020, misalnya, anggota DPR dari Partai Golkar, Nurul Arifin, menyerukan pemotongan gaji. Langkah itu didukung sejumlah anggota yang lain. Beberapa fraksi telah mengambil tindakan memotong gaji mereka per Maret 2020, antara lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Gerakan pemotongan gaji ini diharapkan bukan sekadar gimik bermotif politik, melainkan kesadaran yang lahir dari ketulusan anggota DPR di tengah kondisi darurat. Solidaritas sosial anggota DPR itu jauh lebih berdampak apabila diangkat ke tingkat kebijakan sehingga sifatnya tidak sporadis. Misalnya, berkaca dari kesulitan anggaran yang dialami negara pada masa darurat, DPR melalui peran penganggaran dapat mendorong dilakukannya reformasi anggaran sehingga tata kelola anggaran negara lebih berkeadilan dan prorakyat.
Solidaritas juga ditunjukkan DPR dengan membentuk Satuan Tugas Lawan Covid-19, Kamis (9/4). Satgas ini bertanggung jawab langsung kepada Ketua DPR Puan Maharani. Satgas membantu pemerintah mempercepat penanganan Covid-19 di daerah. DPR melalui laman Satgaslawancovid19.com berupaya menghubungkan pengusaha lokal atau donatur lokal untuk membantu pemenuhan kebutuhan rumah sakit atau puskesmas di daerah masing-masing. Satgas ini tak menerima bantuan berupa uang, tetapi berupa alat kesehatan, masker, dan ventilator.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, ini merupakan upaya DPR membantu pemerintah menangani Covid-19. Dengan gerakan anggota DPR di daerah pemilihan masing-masing, penanganan penyakit itu diharapkan lebih cepat dilakukan.
”Hal ini juga mencerminkan upaya gotong royong karena melibatkan pengusaha lokal di daerah,” ujarnya.
Upaya solidaritas sosial yang digalang DPR adalah hal yang baik. Namun, di sisi lain, menurut peneliti Centre for Strategic and International Studies Jakarta, Arya Fernandez, peran utama anggota legislatif ialah pada tataran kebijakan. Di samping turun tangan langsung menangani Covid-19, DPR sebagai pembuat kebijakan melalui fungsi legislasi diharapkan arif melihat situasi. Misalnya, DPR sebaiknya tak membahas RUU problematik saat kondisi darurat.
Peran utama anggota legislatif ialah pada tataran kebijakan. Di samping turun tangan langsung menangani Covid-19, DPR sebagai pembuat kebijakan melalui fungsi legislasi diharapkan arif melihat situasi.
Dalam peran pengawasan atau monitoring kebijakan, DPR harus berbuat lebih dari sekadar upaya teknis menyalurkan bantuan di lapangan.
”Misalnya, bagaimana merespons kerja Menteri Kesehatan dan kinerja pemerintah secara umum dalam penanganan Covid-19. Pandemi ini sudah berlangsung hampir sebulan dan sudah terbit perppu soal pembatasan sosial berskala besar, tetapi efeknya belum terasa. Nah, bagaimana ini seharusnya dikritisi dan menjadi diskursus yang dibincangkan oleh DPR,” tuturnya.
Pada tataran kebijakan, DPR harus berperan menghadirkan pikiran alternatif, tidak semata-mata mendukung saja apa yang dilakukan pemerintah.
”Sulit sekali hari-hari ini mendengar ada pikiran alternatif dari DPR. Dugaan saya, karena hampir semua parpol kini menjadi koalisi pemerintah. Koalisi yang gemuk justru berbahaya karena tidak ada pandangan alternatif dari DPR,” katanya.