Sejak naiknya iuran BPJS dan pandemi Covid-19, pekerja sektor informal hingga kini tak mampu membayar iuran. Sementara peraturan presiden pengganti pasca-putusan MA yang menolak kenaikan iuran belum diterbitkan.
Oleh
FX Laksana Agung Saputra
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja sektor informal tak mampu membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional. Sejak merebaknya Covid 19 pada awal Februari lalu, pendapatan mereka berangsur-angsur anjlok dan belakangan nihil. Putusan Mahkamah Agung yang mengembalikan ke tarif lama yang lebih rendah sebenarnya bisa meringankan, tetapi ternyata belum bisa diterapkan karena peraturan presiden pengganti belum terbit.
Efriyanto (43), sopir ojek di Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (8/4/2020), mengaku tak mampu lagi membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebab, penghasilannya benar-benar nihil. Bukan karena tidak mau bekerja, tetapi karena jumlah penumpang ojek di Yogyakarta turun drastis.
Dulu, sebelum pemerintah menaikkan tarif iuran, Efriyanto membayar Rp 320.000 per bulan untuk keluarganya yang seluruhnya berjumlah empat orang. Masing-masing iuran Rp 80.000 per bulan. Setelah kenaikan tarif yang berlaku sejak Januari 2020, Dedi membayar Rp 640.000 per bulan untuk keluarganya atau Rp 160.000 per orang per bulan.
”Saya sudah nggak ada pemasukan lagi. Harus pinjam ke sana-sini dulu biar tidak kena denda,” kata Efriyanto saat dihubungi dari Jakarta.
”Saya sudah nggak ada pemasukan lagi. Harus pinjam ke sana-sini dulu biar tidak kena denda.”
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kebijakan pemerintah menaikkan tarif iuran JKN, menurut Efriyanto, sebenarnya bisa meringankan beban dia dan para pekerja sektor informal lainnya dalam situasi sulit seperti sekarang ini. Persoalannya, BPJS Kesehatan belum menerapkan amanat putusan MA tersebut karena pemerintah belum menerbitkan peraturan presiden sebagai respons atas putusan MA tersebut.
”Saya sudah menghubungi humas BPJS Kesehatan. Katanya menunggu revisi perpres kenaikan BPJS baru bisa dijalankan,” kata Efriyanto.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan menaikkan tarif iuran JKN per 1 Januari 2020. Ini adalah salah satu kebijakan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang makin parah setiap tahunnya.
Iuran untuk peserta kelas tiga naik dari Rp 25.550 menjadi Rp 42.000 per orang per bulan. Untuk kelas dua, iurannya naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per orang per bulan. Untuk kelas satu, iurannya naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per orang per bulan. Tarif baru ini berlaku efektif mulai 1 Januari 2020.
Keberatan dengan kebijakan itu, Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCD) mengajukan permohonan uji materi. Hasilnya, MA per 9 Maret memutuskan mengabulkan permohonan KPCD tersebut. Artinya, tarif iuran JKN harus kembali ke aturan lama sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Siap menjalankan
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan, BPJS Kesehatan siap menjalankan putusan MA. Agar putusan itu bisa diterapkan, BPJS Kesehatan masih menunggu peraturan presiden pengganti.
”Putusan MA dapat dieksekusi dalam kurun waktu 90 hari melalui aturan baru, atau apabila jika tidak terdapat aturan baru dalam kurun waktu tersebut, maka Perpres 75/2019 Pasal 34 (soal tarif) dianggap tidak memiliki kekuatan hukum atau dibatalkan. Intinya, dalam waktu 90 hari ke depan setelah salinan keputusan diumumkan resmi, BPJS Kesehatan menunggu terbitnya perpres pengganti. Saat ini sedang berproses,” kata Iqbal.
Dengan demikian, Igbal melanjutkan, tarif iuran untuk April masih mengikuti aturan baru alias sama dengan Januari-Maret. Ketentuan iuran Mei dan seterusnya akan diatur dalam regulasi terbaru.
”Mestinya ditanyakan ke Kementerian Keuangan (soal rancangan perpres terkait BPJS karena soal keuangan).”
Saat ditanya apakah ada kebijakan khusus bagi peserta yang kesulitan atau bahkan tidak mampu membayar, seperti mereka yang bekerja di sektor informal di tengah Covid-19 ini, Iqbal mengatakan, tidak ada. ”Regulasinya masih sama,” kata Iqbal.
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, belum bisa memberikan tanggapan. ”Mestinya ditanyakan ke Kementerian Keuangan (soal rancangan perpres terkait BPJS),” katanya.
Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Kepresidenan, Bogor (24/3//2020), menyatakan, perlu landasan hukum baru Setelah MA membatalkan kenaikan iuran BPJS kesehatan. Untuk itu, ia menenkankan pentingnya penyelesaian dasar hukum baru yang dibutuhkan untuk mengatur pembiayaan sehingga terdapat kepastian pelayanan yang baik bagi pasien dan rumah sakit.