Penyelidikan Kasus HAM Mandek, Kejagung-Komnas HAM Perlu Bentuk Tim Bersama
Imparsial mendorong Kejaksaan Agung dan Komnas HAM membentuk tim bersama untuk menyelesaikan mandeknya penyelidikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah pun diminta mendorong hal ini.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hendaknya membentuk tim bersama untuk mencegah mandeknya penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Tak kunjung tuntasnya penegakan hukum atas kasus-kasus tersebut memunculkan dugaan pemerintah tak serius untuk menyelesaikannya.
Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengembalikan berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua, yang terjadi tahun 2014. Pengembalian karena berkas dinilai belum memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Hal ini kemudian memunculkan kekhawatiran dari sejumlah pegiat hak asasi manusia bahwa kasus Paniai akan bernasib serupa dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya yang diselidiki Komnas HAM. Berkas perkara bolak-balik Kejagung-Komnas HAM. Kejagung menilai berkas belum lengkap, sedangkan Komnas HAM menilai sebaliknya.
Untuk mencegah hal itu terus terjadi, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan Kejagung dan Komnas HAM seharusnya membentuk tim bersama dalam proses penyelidikan. Tim kemudian dapat merumuskan dengan benar sehingga perkara tersebut memenuhi syarat untuk dapat dinaikkan ke tahap penyidikan.
”Pembentukan tim asistensi bersama itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Al Araf, Senin (23/3/2020).
Langkah itu pun seharusnya didorong oleh pemerintah. Pasalnya, mandeknya penyelesaian kasus HAM berat masa lalu memunculkan dugaan pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Khusus untuk kasus Paniai, jika penegakan hukum atas kasus tersebut tak kunjung dilakukan, bisa membuat masyarakat Papua tidak percaya kepada pemerintah. Menurut Al Araf, pemerintah selalu menilai permasalahan di Papua karena persoalan ketertinggalan ekonomi, padahal tak hanya itu. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk yang dituntut masyarakat Papua.
”Penyelesaian dugaan kasus pelanggaran HAM berat di Papua harus dinilai utuh sebagai bentuk mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah,” ujarnya.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pihaknya telah menyampaikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk mencari penyelesaian atas mandeknya penyelidikan kasus-kasus HAM berat masa lalu.
Mahfud mengatakan, pihaknya belum berkomunikasi dengan Kejagung terkait pengembalian berkas kasus Paniai ke Komnas HAM. Meski demikian, dia percaya proses yang berjalan sudah sesuai prosedur dan mekanisme yang ada.
Selain penyelesaian secara yudisial, menurut Mahfud, opsi lain yang akan ditempuh untuk menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu adalah dengan cara non-yudisial. Terkait hal itu, Kemenko Polhukam menginisiasi pengusulan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan saat ini substansi di dalamnya masih terus dimatangkan oleh pemerintah.
”Masalah yang tidak bisa diselesaikan secara yuridis dapat diselesaikan secara non-yudisial,” kata Mahfud.
Terkait hal ini, Al Araf mengingatkan, partisipasi penuh dari korban dan penyelesaian melalui KKR bukan jadi sarana impunitas bagi para pelaku dugaan pelanggaran HAM berat.
”KKR bisa diterapkan untuk menyeimbangkan penyelesaian yuridis yang terganjal macam-macam. Namun, pemerintah harus memastikan partisipasi penuh dari korban untuk mencapai keadilan bagi korban,” katanya.
Afrika Selatan bisa jadi rujukan. Menurut Al Araf, Afrika Selatan memadukan mekanisme penyelesaian yudisial dan non-yudisial. Pemerintah meminta maaf secara terbuka kepada publik atas pelanggaran HAM berat yang terjadi. Namun, di sisi lain, penyelesaian dari jalur yudisial juga tetap berjalan sehingga pelaku tidak bebas dari hukuman.