Mencari Respons Kelembagaan terhadap Penyebaran Hoaks Daring
Disinformasi dan hoaks semakin kerap muncul di ruang publik. Humas di lembaga pemerintah perlu mereposisi agar bisa memberi informasi akurat, sekaligus melawan hoaks yang berdampak merusak.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Di tengah merebaknya Covid-19 akibat virus korona baru, Arab Saudi yang menjadi negara tujuan umrah dan haji umat Islam dunia pun segera menutup sementara akses negaranya. Salah satu media daring lalu menyebut bahwa ibadah umrah dan haji di Arab Saudi akan ditutup satu tahun penuh. Padahal, Arab Saudi hanya menutup sementara dan akan melihat perkembangan terkini penyebaran virus korona tersebut.
Tak pelak, informasi simpang siur ini membuat kegaduhan dan kepanikan di masyarakat. Sebab, banyak umat Islam di Indonesia yang berkepentingan terhadap informasi itu. Sejumlah biro perjalanan umrah mengumumkan kerugian besar karena kebijakan penutupan sementara tersebut.
”Kami dari Kementerian Agama memang sempat dibuat kelimpungan dengan informasi yang salah itu. Segera kami harus melakukan klarifikasi meskipun pada akhirnya informasi yang dimuat di situs daring itu juga segera dihapus. Namun, dampak informasi yang salah itu luar biasa,” ujar Kepala Subbagian Layanan Informasi Humas Kementerian Agama Moch Khoeron dalam acara ”Ngopi Bareng Pegiat Media Sosial-Pengawasan Bidang Pendidikan: Monitoring Isu Kemenag di Medsos dan Mitigasinya” di Tangerang Selatan, Selasa (10/3/2020).
Kasus informasi terkait Covid-19 dan kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang disampaikan di situs daring itu tergolong misinformasi. Ia memiliki karakteristik yang relatif sama dengan disinformasi, yakni mengandung informasi yang sama sekali atau salah satu sebagian salah. Namun, misinformasi terjadi tanpa intensi khusus. Hal ini berbeda dengan disinformasi dan hoaks yang memang sengaja dibuat untuk mengelabui orang lain.
Lantas mengapa hoaks sangat berbahaya? Sebab, sebagaimana diungkap Stanley Cohen, sosiolog London School of Economics, dalam buku Folks Devils and Moral Panic (1972), hoaks dan ujaran kebencian menjadi sangat berbahaya jika hal itu menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Hoaks bisa menjadi pemicu tindakan destruktif pada orang yang memercayai informasi tersebut. Hoaks juga dapat memicu sentimen negatif terhadap suatu golongan, terutama dipicu dengan beredarnya berita palsu terkait kelompok tersebut.
Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) 2019 menunjukkan 87,5 persen responden mengaku terpapar hoaks dari media sosial, 67 persen dari aplikasi pesan singkat, dan 28,2 persen terpapar hoaks dari situs web. Dari sisi isu, survei yang sama menunjukkan isu hoaks yang kerap diterima masyarakat terutama mengenai sosial politik (93,20 persen), SARA (76,20 persen), pemerintahan (61,70 persen), kesehatan (40,70 persen), penipuan keuangan (18,50 persen), dan lainnya.
Responden dalam survei tersebut juga berpendapat cara paling efektif untuk menangkal hoaks adalah dengan edukasi dan sosialisasi. Siapa yang dianggap paling berperan dalam hal edukasi dan sosialisasi tersebut? Responden menganggap edukasi sebaiknya dilakukan diri sendiri, aparat penegak hukum, pemerintah, dan komunitas.
Oleh karena itu, pegawai kehumasan pemerintah perlu berubah untuk merespons fenomena tersebut.
Peran humas pemerintah
Khoeron menyadari kinerja humas di Kementerian Agama saat ini memang tertinggal dari informasi yang ada di media arus utama maupun media sosial. Sebab, selama ini instansi pemerintah masih cenderung mengunggah informasi mengenai kegiatan internal di akun media sosial resmi mereka. Informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik luas masih kerap terabaikan. Namun, ketika ada informasi keliru yang telanjur menyebar luas, Kemenag kebingungan untuk mengklarifikasi informasi tersebut.
Salah satu hal yang menjadi kendala komunikasi publik di Kemenag adalah konsolidasi dengan bagian direktorat jenderal yang belum lancar. Akibatnya, arus informasi tersendat dan tidak bisa langsung disebarluaskan kepada masyarakat. Khoeron sadar bahwa dengan perkembangan teknologi informasi ini, Kemenag harus mengubah pola komunikasinya dengan cepat.
”Selama ini akun medsos kurang terkonsolidasi dengan baik. Masing-masing masih sibuk dengan publikasi kegiatan internal. Ke depan koordinasi akan ditingkatkan sehingga lebih menonjolkan informasi yang penting bagi publik,” kata Khoeron.
Ahmad Nurhasim, Editor The Conversation yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi Ngopi Bareng Pegiat Media Sosial, menjelaskan, saat ini diperlukan pola komunikasi yang berbeda pada instansi pemerintah. Hal itu salah satunya karena era media sosial berdampak pada banjir informasi, kabar bohong, dan ujaran kebencian. Masyarakat pun dihinggapi perasaan fear of missing out (FOMO). Mereka akan ketakutan tertinggal informasi terkini, terutama yang berkaitan dengan ancaman kesehatan dan jiwa.
Pemerintah dituntut lebih aktif, misalnya memanfaatkan akun resmi media sosial untuk berkomunikasi dan memberikan informasi akurat kepada masyarakat. Dengan informasi akurat itu, kepanikan dan kekhawatiran yang tidak perlu dapat diminimalkan. Di lingkup Kemenag, misalnya, informasi mengenai kepentingan publik seperti haji dan umrah harus dapat merespons cepat isu di media sosial.
”Salah satu institusi yang cukup cepat dan tanggap menginformasikan ke masyarakat adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Mungkin, Kemenag bisa mencontoh mereka, terutama dalam memberikan informasi di bawah kewenangan mereka, seperti pendidikan, haji dan umrah, serta sertifikasi halal,” kata Nurhasim.
Perlindungan minoritas
Para pembicara dalam diskusi Ngopi Bareng itu juga menyoroti pentingnya peran kementerian dan lembaga untuk menghalau ujaran kebencian maupun kabar bohong. Di lingkup Kementerian Agama, pegiat media berharap ada konten narasi alternatif untuk menghalau ujaran kebencian dan hoaks.
Nurhasim mengkritik Kemenag yang selama ini belum berperan aktif dalam membela kelompok minoritas. Ketika ada kasus persekusi kelompok minoritas, misalnya, Kemenag terlalu berhati-hati dan lebih memilih menjaga sikap kelompok mayoritas. Padahal, jika Kemenag berpegang teguh pada konstitusi, mereka dapat mengayomi berbagai pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia. Sebab, sejatinya salah satu fungsi Kementerian Agama adalah menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
”Kemenag harus lebih berperan dalam mempromosikan pemahaman agama yang toleran, bagaimana menerima perbedaan sehingga dapat mencegah ujaran kebencian,” kata Nurhasim.
Mahbib Khoiron, Redaktur Pelaksana NU Online, menambahkan, di media sosial saat ini terjadi banjir informasi. Berita yang berpotensi memecah belah masyarakat, seperti ujaran kebencian dan hoaks, cepat menjadi perbincangan dan viral. Terutama adalah berita-berita tentang intoleransi, persekusi kelompok minoritas, dan isu sektarian.
Kementerian Agama yang memiliki tugas pokok dan fungsi menjaga kerukunan umat beragama terkadang malah terjebak dengan konten yang bersifat internal. Belum ada upaya yang secara berkelanjutan memberikan kontranarasi atau narasi alternatif untuk menghalau berita bohong.
”Kementerian Agama kadang-kadang harus keluar dari petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang birokratis. Mereka harus lebih aktif di media sosial, terutama menghalau ujaran kebencian dan hoaks untuk mengedukasi masyarakat,” kata Mahbib.