Ada unsur pertimbangan politik di balik agenda pemindahan jaksa yang menangani perkara besar di KPK. KPK sekarang ibarat harimau yang dipaksa berpenampilan kucing.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Yadyn Palebangan dan Sugeng, kembali bertugas di Kejaksaan Agung pada Senin (3/2/2020). Saat ini, KPK pun tengah menyeleksi para jaksa dari Kejaksaan Agung untuk memperkuat tugas di Direktorat Penuntutan KPK.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, ada enam jaksa yang sudah lulus tes potensi, asesmen kompetensi, dan tes bahasa Inggris. Keenam jaksa tersebut juga sudah mengikuti tes kesehatan dan wawancara unit kerja pada 30 dan 31 Januari lalu.
”Rencananya, (jaksa-jaksa yang nanti lolos) akan sebagai jaksa penuntut umum yang memperkuat tugas-tugas di Direktorat Penuntutan KPK. Saat ini masih menunggu hasil tes kesehatan. Sepertinya pertengahan Februari (akan disampaikan pengumuman kelulusan),” tutur Ali kepada Kompas.
Jumlah jaksa di KPK yang menjalankan tugas-tugas di bagian jaksa penuntut umum ada 67 orang. Sementara kebutuhan berdasarkan analisis beban kerja saat ini sebanyak 80 jaksa penuntut umum dan 18 jaksa eksekutor sehingga idealnya terdapat 98 jaksa di KPK.
Dengan begitu, lanjut Ali, kebutuhan jaksa di KPK secara umum masih diperlukan 31 orang lagi. Sementara khusus untuk jaksa penuntut umum yang bertugas menangani perkara dibutuhkan 13 orang lagi.
Sebelumnya, ada dua jaksa KPK yang ditarik kembali oleh Kejaksaan Agung, yakni Yadyn Palebangan dan Sugeng. Padahal, masa kerja mereka baru berakhir pada Maret 2022 dan dapat diperpanjang hingga 2024. Mereka bekerja di KPK pada 2014.
Yadyn mengakui dirinya merupakan bagian dari tim analisis dalam operasi tangkap tangan perkara dugaan suap terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang melibatkan politisi PDI-P, Harun Masiku, awal Januari lalu. Hingga kini, keberadaan Harun belum juga diketahui.
Sementara Sugeng disebut pernah menjabat kepala satuan tugas tim pemeriksa Firli Bahuri atas dugaan pelanggaran kode etik saat dia menjabat Deputi Penindakan KPK (April 2018 hingga Juni 2019). Sejak akhir tahun lalu, Firli terpilih menjabat Ketua KPK.
Meski begitu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan, penarikan kedua jaksa tersebut untuk kebutuhan organisasi. Khususnya untuk membantu penyidikan atas dugaan kasus korupsi di Jiwasraya.
Pakar hukum tata negara Riawan Tjandra menilai, pengembalian dua jaksa KPK sebelum berakhir masa tugasnya tidak lazim. Sebab, mekanisme pengembalian dibatasi oleh jangka waktu dan kontrak kerja di KPK.
”Ada unsur political consideration di balik agenda pemindahan jaksa tersebut untuk menihilkan proses penanganan perkara besar di KPK. Inilah pelemahannya. KPK sekarang ibarat harimau yang dipaksa berpenampilan kucing,” katanya.
Menurut Riawan, penarikan dua jaksa oleh Kejaksaan Agung hanyalah sebagai pengalihan isu. Sebab, pada dasarnya, jumlah jaksa di Kejaksaan Agung jauh lebih banyak sehingga semestinya tidak bergantung pada jaksa-jaksa di KPK.