Melawan Hoaks dari Segala Lini
Pemilihan Umum sudah berakhir, tetapi dampak dari kontestasi yang alot masih membekas di antaranya hoaks dan ujaran kebencian. Solusi melawan hoaks harus melalui berbagai lini, di antaranya dengan edukasi masyarakat.
Solusi melawan hoaks adalah edukasi masyarakat lewat berbagai lini. Perlawanan tak cuma lewat pelestarian nilai-nilai toleransi, tetapi juga empati, tenggang rasa, dan daya pikir kritis terhadap berbagai kelompok masyarakat.
Pemilihan Umum sudah berakhir, tetapi dampak dari kontestasi yang alot masih membekas dalam keseharian Imanuel Ebenezer (44). Pernikahannya kandas karena perbedaan sikap politik dan pertengkaran yang dipicu hoaks politik. Mantan istrinya pendukung garis keras Prabowo Subianto, sementara Imanuel adalah eks relawan Joko Widodo.
“Sulit dipertahankan karena kondisinya sudah tidak sehat. Setiap hari pulang, berantem karena masalah pilihan politik,” kata Imanuel, akhir Januari 2020 lalu.
Titik puncak pertengkaran Imanuel dan mantan istrinya adalah saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Kontestasi saat itu begitu alot dan diwarnai bumbu penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang beredar luas di dunia maya dan nyata.
"Panasnya suhu politik nasional berpengaruh pada ketenangan berumah tangga Imanuel. Mereka memperdebatkan berita-berita hoaks dan ujaran kebencian hingga kerap bertengkar hebat"
Panasnya suhu politik nasional berpengaruh pada ketenangan berumah tangga Imanuel. Mereka memperdebatkan berita-berita hoaks dan ujaran kebencian hingga kerap bertengkar hebat.
Baca Juga: Cepat Susun Peta Jalan Literasi Digital
Sampai sekarang, meski Pemilu sudah berakhir dan Jokowi dengan Prabowo sudah menjadi kawan, hubungan Imanuel dan mantan istrinya tidak serta-merta ikut pulih. “Hubungan mulai mencair, tapi rasa tersinggung itu kadang masih muncul. Politisi enak, bisa bertengkar lalu langsung salaman, tapi bagaimana dengan masyarakat?” kata Imanuel.
Beberapa orang lain memilih untuk mengubur pertengkaran selama pemilu. Ajeng (37), dan teman-temannya yang sempat bertengkar saat Pemilu 2019, memilih bersikap apolitis demi menjaga pertemanan.
“Kami sepakat, ya sudah dilupain saja. Kalau lagi nongkrong, lalu ada yang bahas politik, langsung ditegur. Males banget, bikin berantem aja,” kata Ajeng yang adalah eks relawan Prabowo.
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah hoaks paling banyak di bidang politik, memang telah merasakan langsung dampak negatif hoaks, ujaran kebencian, dan sentimen SARA selama Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019 lalu. Tali silaturahim terputus, perpecahan dan konflik pun terjadi di berbagai lapisan masyarakat.
Namun, di tengah ancaman itu, masyarakat belum juga dibekali kemampuan membedakan konteks hoaks dan fakta. Belakangan ini, delapan bulan setelah perhelatan pemilu, narasi pentingnya literasi digital untuk melawan hoaks kembali mengemuka di tengah maraknya kasus hoaks terkait kasus Virus Corona yang bersumber dari China.
"Masyarakat belum juga dibekali kemampuan membedakan konteks hoaks dan fakta. Belakangan ini, delapan bulan setelah perhelatan pemilu, narasi pentingnya literasi digital untuk melawan hoaks kembali mengemuka di tengah maraknya kasus hoaks terkait kasus Virus Corona yang bersumber dari China"
Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga 31 Januari 2020 merangkum total 36 hoaks yang beredar soal Virus Corona. Tidak hanya klaim palsu dan berbagai teori sains ngawur, hoaks yang beredar turut disertai bumbu ujaran kebencian dan sentimen SARA terhadap warga China.
Literasi digital
Solusi melawan hoaks adalah dengan edukasi masyarakat yang dilakukan di berbagai lini. Terkait itu, sepanjang Oktober 2019 sampai Januari 2020, berbagai komunitas dan pegiat literasi digital menggencarkan kegiatan literasi digital untuk melestarikan nilai-nilai toleransi, empati, tenggang rasa, dan daya berpikir kritis ke berbagai kelompok masyarakat di akar rumput.
Proyek-proyek itu dilakukan dalam rangka program beasiswa singkat oleh Australia Awards Indonesia bertajuk Democratic Resilience: Media and Digital Literacy atau Literasi Digital dan Daya Tahan Demokrasi, yang dipresentasikan selama empat hari kegiatan workshop di Bali, 27-30 Januari 2020 lalu.
Ahmad Syamsuddin, pegawai di Kementerian Agama, misalnya, mengadakan pelatihan bagi para penyuluh agama Islam berstatus pegawai negeri sipil maupun non-PNS di Banten dan DKI Jakarta. Para penyuluh diajarkan dasar-dasar literasi digital, serta kemampuan teknis mengecek fakta, misalnya lewat aplikasi Whatsapp Kalimasada dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
Para penyuluh agama menjadi target penting edukasi karena mereka sehari-hari berhadapan langsung membina berbagai kelompok masyarakat di tingkat kecamatan. “Namanya bagus, penyuluh, membawa suluh (terang). Tetapi, nyatanya, mereka sendiri mengaku, waktu pemilu, banyak yang jadi pengedar hoaks politik, apalagi yang terkait isu agama,” ujar Syam.
Pendekatan pelatihan literasi digital kepada para penyuluh agama pun disesuaikan, yakni memakai dalil-dalil agama. “Harus pakai dalil agama agar diterima. Misalnya, untuk mengajak mereka tidak menyebar hoaks, saya mengutip dalil bahwa satu fitnah itu ibarat membunuh seribu orang,” katanya.
Harum Sekartaji, peserta lain, bekerja sama dengan komunitas Solo Bersimfoni untuk mengajarkan literasi digital ke sejumlah relawan anak-anak remaja dan pemuda. Berikutnya, relawan itu disebar ke sekolah-sekolah di Kota Solo untuk mengadakan pelatihan ke murid-murid sepantaran mereka.
Yang diajarkan bukan hanya kemampuan teknis mengidentifikasi hoaks, tetapi juga menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Hasthalaku Solo, antara lain tepa slira (tenggang rasa), guyub rukun (kerukunan), ewuh pekewuh (saling menghormati, dan pangerten (saling menghargai), dalam kegiatan bermedia sosial sehari-hari.
Berawal dari pelatihan itu, ke depan, modul pelatihan literasi digital yang dibuat Harum itu rencananya akan diimplementasikan dalam kurikulum beberapa sekolah lain di Jawa Tengah.
Selain Syamsuddin dan Harum, berbagai jenis kegiatan literasi digital juga digencarkan ke kelompok masyarakat lain, seperti literasi digital untuk masyarakat pedesaan yang dilakukan oleh Giri Lumakto dari Mafindo pada 20 komunitas pedesaan dari dua desa di Kecamatan Purwosari, Wonogiri, dan Kecamatan Sindurjan, Purworejo.
Berbagai tantangan masih dihadapi dalam menggencarkan gerakan literasi digital di akar rumput. Mulai dari kebutuhan finansial untuk modal kegiatan, sampai memastikan kesinambungan kegiatan pelatihan agar tidak sekadar tabrak-lari dan bisa lebih berdampak signifikan.
Baca Juga: Komitmen Politik Dibutuhkan untuk Terapkan Literasi Digital dalam Kurikulum
Direktur Eksekutif ICT Watch Donny BU yang juga Tenaga Ahli Menkominfo Bidang Literasi Digital mengatakan, kolaborasi dan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mengintensifkan berbagai kegiatan literasi digital di akar rumput.
“Harapannya, bisa bergerak di berbagai lini. Kepung lewat pendidikan literasi digital di kurikulum pendidikan, lewat ekstra kurikuler, sembari terus mengadakan pelatihan dan workshop di masyarakat. Kami juga akan memperkuat riset tentang indeks literasi nasional agar setiap komunitas dan pegiat literasi bisa mengukur apakah kegiatannya efisien dan tepat sasaran atau tidak”
“Harapannya, bisa bergerak di berbagai lini. Kepung lewat pendidikan literasi digital di kurikulum pendidikan, lewat ekstra kurikuler, sembari terus mengadakan pelatihan dan workshop di masyarakat. Kami juga akan memperkuat riset tentang indeks literasi nasional agar setiap komunitas dan pegiat literasi bisa mengukur apakah kegiatannya efisien dan tepat sasaran atau tidak,” katanya.
Sepanjang masyarakat masih terpapar internet dan tidak dibekali kemampuan literasi digital, daya berpikir kritis, dan nilai-nilai toleransi, daya rusak hoaks akan terus berlipat ganda, merusak persatuan dan kerukunan bangsa. Sepanjang itu pula, perlawanan lewat jalur edukasi harus terus dilakukan di berbagai lini.