Wajah Ganda Capaian Pemilu 2019
Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 mengingatkan pemberdayaan politik jadi area di mana kesenjangan jender memerlukan waktu terpanjang kedua agar diatasi, yakni 94,5 tahun. Bagi RI, upaya itu memerlukan kerja keras.
Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 mengingatkan pemberdayaan politik jadi area di mana kesenjangan jender memerlukan waktu terpanjang kedua agar diatasi, yakni 94,5 tahun. Bagi Indonesia, upaya mewujudkan kesetaraan jender di bidang politik masih perlu kerja keras kendati secara statistik ada sedikit kenaikan representasi perempuan di parlemen hasil Pemilu 2019.
Secara umum, Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 dari World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia di peringkat ke-85 dari 153 negara yang dikaji. Indonesia mendapat skor 0,70 dengan skala penilaian 0 bermakna senjang dan 1 setara.
Ada empat aspek yang dijadikan basis penyusunan indeks kesenjangan jender tersebut, yakni partisipasi dan kesempatan ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, serta pemberdayaan politik. Dari empat aspek itu, Indonesia berada di peringkat ke-68 dari sisi kesempatan dan partisipasi ekonomi, lalu berturut-turut kesehatan dan kelangsungan hidup (79), pemberdayaan politik (82), dan pencapaian pendidikan (105).
Dengan kecepatan perubahan saat ini, akan butuh waktu hampir satu abad guna mencapai kesetaraan.
Dalam pertemuan World Economic Forum, 21-24 Januari 2020, di Davos, Swiss, kesenjangan jender juga menjadi salah satu topik yang dibahas. Mengenai pentingnya kesetaraan jender, Klaus Schwab, Executive Chairman World Economic Forum, dalam sambutannya di Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 menekankan, tanpa inklusi yang setara terhadap separuh dari talenta dunia (perempuan), maka tidak akan bisa tercapai janji Revolusi Industri 4.0 bagi semua kelompok masyarakat. ”Dengan kecepatan perubahan saat ini, akan butuh waktu hampir satu abad guna mencapai kesetaraan,” tuturnya.
Wajah ganda
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan wajah ganda bagi kesetaraan perempuan di bidang politik, yakni sisi positif dan negatif. Hal ini setidaknya terlihat dari hasil kajian Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, dan Ben Hillman, peneliti politik Australian National University (ANU). Pada Jumat (24/1/2020), Aditya memaparkan hasil kajian tersebut dalam ANU Research Network Workshop 2020 yang diselenggarakan di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dalam forum itu, para peneliti Indonesia dan Australia yang mendapat dana penelitian dari Indonesia Project ANU memaparkan hasil riset mereka.
Dalam hasil kajian Aditya dan Hillman terlihat bahwa persentase perempuan yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi yang tertinggi sejak era reformasi. Pada Pemilu 1999, hanya 9 persen anggota DPR merupakan perempuan. Kemudian, angka itu naik menjadi 11 persen pada Pemilu 2004, lalu 18 persen pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 2014, persentase perempuan di DPR sedikit turun menjadi 17 persen, kemudian keterwakilan perempuan meningkat menjadi 21 persen dari 575 anggota DPR pada Pemilu 2019.
Di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), keterwakilan perempuan untuk pertama kalinya menembus 30 persen pada Pemilu 2019, yakni mencapai 31 persen dari 136 anggota DPD. Adapun pada 2014, keterwakilan perempuan di DPD 26 persen dan pada Pemilu 2009 sebesar 29 persen.
Menurut Aditya, data perempuan anggota DPR dan DPD menunjukkan ada kecenderungan lebih mudah bagi perempuan untuk memenangi pemilihan di DPD ketimbang DPR. Salah satu penyebabnya, kata Aditya, ialah pada sistem pemilihan yang berbeda di kedua lembaga perwakilan tersebut. Pemilihan anggota DPD menggunakan sistem mayoritarian, di mana pemenang ditentukan berbasis pada suara terbanyak di daerah pemilihan.
Sementara itu, pada pemilihan anggota DPR, Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar terbuka, di mana masyarakat bisa memilih partai atau kandidat. Dengan jumlah partai yang cukup banyak, dalam satu surat suara para pemilih bisa menghadapi 150 pilihan nama. Perolehan suara lalu dikonversi ke perolehan kursi partai politik, baru kemudian ditentukan siapa calon anggota DPR dalam partai tersebut yang terpilih dengan basis raihan suara terbanyak.
Aditya juga mencatat, hasil Pemilu 2019 menunjukkan adanya persoalan politik kekerabatan. Sebagian dari para perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR merupakan orang yang memiliki akses informal ke elite partai politik ataupun merupakan kerabat dari elite di daerah. Sebagian dari mereka merupakan istri atau anak dari kepala daerah atau mantan kepala daerah. Aditya menyebut persentasenya mencapai sekitar 40 persen.
Baca juga: Refleksi Keterwakilan Perempuan
”Partai memenuhi kuota perempuan (30 persen dari calon), tetapi partai juga menggunakan secret garden strategies dengan memilih kandidat dari dinasti politik lokal dan menggunakan jejaring informal,” kata Aditya.
Partai memenuhi kuota perempuan (30 persen dari calon), tetapi partai juga menggunakan secret garden strategies dengan memilih kandidat dari dinasti politik lokal dan menggunakan jejaring informal.
Persoalan lain yang muncul ialah tingkat sirkulasi anggota DPR perempuan juga tinggi. Pada Pemilu 2019, sebanyak 67 persen dari total perempuan anggota DPR merupakan wajah-wajah baru. Hanya 33 persen merupakan petahana. Persentase sirkulasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan anggota DPR laki-laki yang mayoritas merupakan petahana (50,76 persen).
Menurut Aditya, pekerjaan rumah ke depan ialah bagaimana partai politik berkomitmen tidak hanya pada pemenuhan kuota pencalonan perempuan, tetapi juga bagaimana membuat kandidat perempuan yang punya kapabilitas bisa terpilih. Tidak kalah penting juga upaya membuat anggota DPR perempuan yang berkapabilitas bisa tetap menduduki jabatan tersebut pada pemilihan berikutnya.
”Butuh lebih banyak dukungan untuk meningkatkan kesempatan keterpilihan perempuan di pemilihan, terutama aktivis politik perempuan yang tidak punya kaitan dengan dinasti politik dan tidak punya sumber daya modal memadai,” katanya.
Lebih substantif
Peneliti Senior The SMERU Research Institute Yudi Fajar M Wahyu mengingatkan, setelah 20 tahun lebih reformasi, seharusnya diskursus mengenai partisipasi politik dan kesetaraan jender di bidang politik sudah melampaui aspek kuantitas sehingga lebih banyak fokus pada aspek substansi. Salah satunya bagaimana perempuan di parlemen mampu mengarusutamakan kepentingan perempuan.
Kita harus membantu menyiapkan perempuan kandidat (DPR) untuk melakukan apa setelah terpilih nantinya. Perempuan kandidat dan partai politik juga harus memiliki gambaran yang terintegritas dan terkait satu dengan lainnya.
”Kita harus membantu menyiapkan perempuan kandidat (DPR) untuk melakukan apa setelah terpilih nantinya. Perempuan kandidat dan partai politik juga harus memiliki gambaran yang terintegritas dan terkait satu dengan lainnya,” kata Yudi.
Untuk menuju ke sana, dia menilai sayap perempuan di partai politik harus aktif menyiapkan kader perempuan, salah satunya juga bisa dengan melibatkan organisasi-organisasi perempuan di luar partai yang masih punya kesamaan nilai. Hal ini harus dilakukan karena masih ada relasi kuasa yang tidak seimbang bagi perempuan dalam politik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan menghadapi hambatan kultural dan institusional. Mereka harus menghadapi diskriminasi dari kandidat laki-laki, kemudian harus berhadapan dengan kampanye yang membutuhkan biaya yang tinggi.
Dengan konsisi itu, mampukah kesenjangan jender bidang politik itu dipersempit? Jawaban itu sangat bergantung pada partai politik yang jadi pemilik kunci utama untuk mewujudkan hal itu.