Selama ini, perekrutan yang dilakukan partai politik tertutup sehingga muncul potensi transaksional. Mekanisme yang tidak transparan juga memperkuat posisi elite partai menentukan calon yang diusung secara subjektif.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme Partai Solidaritas Indonesia dalam merekrut calon yang akan diusung pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 diapresiasi sejumlah pihak. Perekrutan secara terbuka dan melibatkan publik akan berkontribusi positif bagi pengembangan demokrasi karena dapat meminimalkan politik transaksional.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar konvensi pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelum memutuskan calon yang akan diusung pada Pilkada 2020. Untuk Pilkada Tangerang Selatan (Tangsel) dan Surabaya, contohnya, PSI telah membuka pendaftaran lalu menyeleksi 18 orang yang ingin maju di pilkada, akhir pekan lalu. Peserta konvensi, di antaranya anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah; mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan; dan Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Tangsel Muhamad.
Ada empat tahapan seleksi, yaitu administrasi, wawancara oleh pakar, debat publik, dan survei elektabilitas. Pakar yang dilibatkan tidak sembarangan, misalnya ekonom Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto, dan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte. Semua proses dilaksanakan secara transparan, misalnya publik bisa menyaksikan wawancara oleh pakar langsung melalui akun Facebook PSI.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Nyarwi Ahmad, yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (21/1/2020), menilai, perekrutan bakal calon kepala daerah melalui konvensi berkontribusi positif bagi demokrasi di level daerah.
Sekalipun metode konvensi sudah pernah digunakan Partai Golkar pada 2004 dan Partai Demokrat pada 2014 untuk mencari calon presiden, metode ini baru pertama kali digunakan untuk calon kepala daerah.
Melalui konvensi, kata Nyarwi, terbuka peluang untuk calon potensial yang sebelumnya tidak populer dan tingkat keterpilihannya rendah. ”Model ini juga bisa menggerus potensi jual beli tiket dari elite partai politik di daerah atau pusat kepada calon yang memiliki modal besar,” kata Nyarwi.
Selama ini, perekrutan yang dilakukan partai cenderung tertutup sehingga muncul potensi transaksi mahar politik. Selain itu, mekanisme yang tidak transparan juga memperkuat posisi ketua umum dan para elite partai untuk menentukan calon yang akan diusung secara subyektif. ”Sejauh ini model konvensi adalah mekanisme yang paling ideal,” ujar Nyarwi.
Akan tetapi, indikator dalam menilai kandidat juga perlu dipastikan berpihak kepada rakyat. ”Indikator semestinya tidak hanya mengakomodasi kepentingan elite partai, tetapi juga kepentingan masyarakat secara umum,” ujarnya.
Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menambahkan, konvensi yang dilakukan PSI perlu diapresiasi di tengah pola perekrutan di partai lain yang selama ini tertutup. Transparansi dan pelibatan publik yang ditekankan itu hendaknya dapat mendorong perubahan di partai lainnya.
”Dengan pola terbuka itu, publik bisa melihat dengan jelas alasan partai mengusung calon tertentu dan bisa berkontribusi memberikan masukan. Transparansi juga mencegah praktik transaksional dalam penetapan calon,” kata dia.
Ia berharap, transparansi itu berlangsung hingga penetapan calon, termasuk saat PSI berkomunikasi politik dan membangun komitmen untuk berkoalisi dengan partai lain.
Tak mudah
Meski memiliki sejumlah kelebihan, menurut Nyarwi, kecil kemungkinan partai-partai lain bersedia mengikuti PSI menggelar konvensi. Sebab, cara ini bisa jadi berbenturan dengan urusan loyalitas.
Pertama, peluang bagi kader yang telah berkontribusi lama membangun partai akan menyempit. Kedua, fenomena migrasi kader dari satu partai ke partai lainnya jelas akan terjadi seiring dengan semakin banyaknya partai yang menggunakan cara konvensi.
”Dalam kadar tertentu, konvensi ini juga merupakan model pasar bebas. Siapa yang dianggap terbaik bisa dicalonkan dan tidak menutup kemungkinan para kader mereka bisa lompat pagar lintas partai,” kata Nyarwi.
Sejumlah partai politik pun mengakui tak mau mengikuti PSI karena memiliki mekanisme sendiri yang sudah lama diterapkan.
Wakil Ketua Umum Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, penetapan pasangan calon yang akan diusung bisa dilakukan dengan beragam metodologi, baik konvensi maupun cara lain. Menurut dia, konvensi juga bisa terdiri atas banyak model.
”Golkar sudah memiliki metodologi sendiri yang digunakan dalam menghadapi pilkada serentak sebelum-sebelumnya. (Metodologi itu) diatur dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) yang saat ini tengah direvisi untuk penyempurnaan,” kata Doli.
Dalam metodologi tersebut, ada mekanisme penjaringan secara terbuka dan tertutup yang dimulai dari level kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya ditetapkan oleh dewan pimpinan pusat (DPP). ”Basis penetapannya adalah elektabilitas pasangan calon yang dilihat dari hasil akumulasi survei yang dilakukan beberapa kali,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo pun mengklaim partainya sudah lama mempraktikkan penjaringan calon secara terbuka. ”Kami juga terbuka, orang mendaftar ke kami, kan, rakyat juga tahu. Kalau kami memilih si A atau si B, kami jelaskan dasarnya apa,” kata Arif.
Selain itu, PDI-P juga menggelar tes tertulis, tes psikologi, dan wawancara untuk para pendaftar di tahap penjaringan. Setelahnya, tahapan itu dilanjutkan dengan penelusuran rekam jejak dan survei elektabilitas.
Meski demikian, Arif mengakui, tidak semua proses bisa dibuka kepada publik. Contohnya, hasil survei dan kajian partai atas rekam jejak bakal calon. ”Yang begitu-begitu tidak mungkin bisa disampaikan secara umum kepada publik, namanya juga pertarungan politik,” ujarny.