Keluarga Korban Tragedi Semanggi I dan II Sesalkan Pernyataan Jaksa Agung
Oleh
Rini Kustiasih, M Ikhsan Mahar, Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengenai tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tragedi Semanggi I dan II, menunjukkan ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) pemerintah menuntaskan kasus tersebut. Tak hanya itu, hal itu juga merupakan bentuk pengingkaran atau denial atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Keluarga korban pun kecewa dan menyesalkan pernyataan Jaksa Agung di hadapan anggota Komisi III DPR tersebut. Mereka mempertanyakan dasar yang digunakan Jaksa Agung untuk menyimpulkan tak adanya pelanggaran HAM berat dalam insiden yang menewaskan anak-anak mereka.
Sebelumnya, Jaksa Agung mengutip pendapat Panitia Khusus Kasus Trisaksi serta Semanggi I dan II yang melaporkannya rapat paripurna DPR, 9 Juli 2001. Pansus menyebutkan tidak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Maria Katarina Sumarsih, ibu kandung korban penembakan Semanggi I Bernardus Realino Norma Irawan, Jumat (17/1/2020) di Jakarta mengungkapkan, hasil Pansus tersebut tak bisa jadi dasar penentuan terjadinya dugaan pelanggaran HAM berat atau tidak. Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 21 Februari 2008 atas uji materi Undang-Undang Peradilan HAM, disebutkan DPR tidak boleh menduga sendiri ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat didasarkan atas penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manisia dan Kejaksaan Agung.
Menurut Sumarsih, ada upaya politisasi pada penembakan mahasiswa saat itu. “Bagi saya, itu menunjukkan politisasi penembakan para mahasiswa pada 1998/1999 sangat kuat” kata Sumarsih yang menilai Kejagung tidak melakukan suatu hal pun untuk turut membantu korban memeroleh keadilan.
Asih Widodo, ayah dari Sigit Prasetyo (korban Semanggi I) menilai pernyataan Jaksa Agung kian menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM berat. Hal ini tak akan menyurutkan langkahnya mencari penyelesaian untuk kasus yang merenggut anak semata wayangnya.
“Sampai kapanpun saya akan perjuangkan. Walau saya menyadari, pemerintah dari tiap pergantian pimpinan tidak serius berkomitmen untuk memberikan keadilan,” ungkapnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan akan berkomunikasi dengan Burhanuddin untuk menyatukan persepsi dalam penanganan kasus HAM berat tersebut.
“Nanti (tanya) ke Jaksa Agung supaya tidak ada keterangan yang berbeda,” ujarnya.
Alternatif penyelesaian
Sementara Komnas HAM saat ini tengah mendalami konsep hibrida atau campuran dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Mekanisme hibrida itu dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan cara persidangan yang berlaku di dunia internasional.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, mekanisme hibrida pernah diterapkan oleh Kamboja saat menyidangkan kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Pol Pot dan pendukungnya. Persidangan HAM internasional digelar dilaksanakan di Kamboja. Biasanya, persidangan HAM internasional dilaksanakan di Denhaag, Belanda.
Menurut dia, ekanisme itu bukan tidak mungkin diterapkan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Tanah Air bila tidak ada keinginan dari pemerintah untuk penyelesaikan kasus-kasus itu.
Ia juga merespons pernyataan Jaksa Agung terkait Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM. Pernyataan itu tidak semestinya diungkapkan oleh Burhanuddin sebagai penegak hukum. Perkataan itu juga menyiratkan dua hal, yakni ketidakmauan (unwillling) dan ketidakmampuan (unable) pemerintah dalam menuntaskan HAM berat masa lalu.
“Pernyataan itu mengindikasikan ‘ketidakmauan” pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, selama bertahun-tahun kasus itu tidak diselesaikan. Padahal, Komnas HAM telah berkali-kali meminta penyelesaian kasus-kasus itu dipercepat,” katanya.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani mengatakan, bukan hanya unwilling dan unable , pernyataan Jaksa Agung juga mengingkari (denial) peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.