Tetap Tanda Tangan Sprindik, KPK Tak Takut Dipraperadilkan
Oleh
Sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski masih ada simpang siur terkait status pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apakah sebagai penyidik dan penuntut umum atau bukan, namun surat perintah penyidikan untuk menetapkan Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah sebagai tersangka korupsi tetap ditandatangan. Pimpinan KPK menyatakan tidak takut untuk dipraperadilkan.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan, gugatan praperadilan merupakan hak dari para tersangka. “Kalau memang ada yang keberatan terhadap penandatanganan surat perintah penyidikan (sprindik), itu silakan saja, itu hak tersangka. Kami tidak khawatir,” ucapnya, di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Kesimpang siuran ini terjadi karena dalam operasi tangkap tangan (OTT) Saiful, surat perintah penyelidikan dan surat perintah penyadapan sudah dikeluarkan sejak era Pimpinan KPK periode 2015-2019. Surat dikeluarkan berlandaskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, sprindik dikeluarkan berdasarkan UU No 19/2019 hasil revisi UU No 30/2002. Dalam UU KPK baru, status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum dihapuskan. Status Dewan Pengawas pun tidak disebutkan secara ekspilisit apakah sebagai penyidik dan penuntut umum, padahal sprindik harus ditandatangan oleh penegak hukum.
“Mekipun tidak secara esplisit dimuat dalam UU KPK baru bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum, tapi secara keseluruhan masih tercermin pimpinan KPK tetap merupakan penanggung jawab tertinggi,” tegas Alexander.
Anggota Dewan Pengawas, Syamsudin Haris menyatakan, terkait OTT KPK di Sidoarjo tidak ada permintaan ijin penyadapan kepada Dewas. Sebab, KPK masih menggunakan prosedur UU KPK lama.
"Dewas sendiri belum memiliki organ karena peraturan presiden tentang organ Dewas baru turun. Karena masih transisional dari UU lama ke UU baru, Dewas dapat memahami langkah pimpinan KPK," ujarnya.
Saiful ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap yang terkait dengan proyek infrastruktur di di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam OTT Saiful yang dilakukan pada Selasa (7/1/2020), KPK menyita total Rp 1,81 miliar.
Selain Saiful sebagai penerima, KPK juga menetapkan status tersangka kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo, Sunarti Setyaningsih; Pejabat Pembuat Komitmen Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo, Judi Tetrahastoto; dan Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan, Sanadjihitu Sangadji.
Sementara penyuap, KPK menetapkan status tersangka kepada dua orang pengusaha, yakni Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi. Atas suap yang diberikan, Ibnu memenangkan empat proyek melalui beberapa perusahaan.
Keempat proyek tersebut, antara lain proyek Pembangunan Wisma Atlet senilai Rp 13,4 miliar; proyek pembangunan Pasar Porong Rp 17,5 miliar; Proyek Jalan Candi-Prasung senilai Rp 21,5 miliar; dan proyek peningkatan Afv. Karag Pucang Desa Pagerwojo Kecamatan Buduran senilai Rp 5,5 miliar.
Setelah dimenangkan proyeknya, Sunarti menerima sebesar Rp 300 juta pada akhir September 2019. Sebanyak Rp 200 juta di antaranya diberikan kepada Saiful pada Oktober 2019. Selain itu, Judi menerima sebesar Rp 240 juta dan Sanadjihitu menerima sebesar Rp 200 juta pada 3 Januari 2020.
“Pada tanggal 7 Januari 2020 (saat OTT dilakukan), IGR (Ibnu) diduga menyerahkan fee proyek kepada SSI (Saiful), Bupati Sidoarjo sebesar Rp 350 juta dalam tas ransel melalui N (Novianto), ajudan bupati di rumah dinas Bupati,” ucap Alexander.
Terhadap penerima, disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara pemberi, disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kepala daerah ke-123
Tertangkap tangannya Bupati Sidoarjo menambah panjang rentetan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Data KPK, sejak 2002 ada 123 orang kepala daerah yang diproses KPK, 50 di antaranya dari kegiatan tangkap tangan atau sebesar 40,6 persen. Selain melalui tangkap tangan, KPK juga menetapkan tersangka lewat case building.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menyampaikan, penetapan tersangka korupsi terhadap para kepala daerah itu mengonfirmasi masih gagalnya pemerintah dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Ini juga menjadi peringatan bahwa memang ada daerah-daerah yang harus mendapat perhatian khusus.
Korupsi oleh kepala daerah juga mengungkap bahwa transaksi suap masih tinggi terjadi di daerah. “Para kepala daerah menjadi berani untuk memberikan imbalan kepada sponsor karena kebutuhan modal yang tinggi untuk biaya saat pilkada,” ujar Oce.