Ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu perlu didasari kebutuhan bagi para korban.
Oleh
M Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu perlu didasari kebutuhan bagi para korban. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bersedia membuka ruang komunikasi yang terbuka dengan para korban 11 kasus HAM berat masa lalu.
Komisioner Komisi Nasional HAM, Chairul Anam, menuturkan, sebelum pemerintah berbicara lebih jauh tentang Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), pemerintah perlu membuka diri untuk mengumpulkan para korban dari 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Langkah itu untuk mendengarkan keinginan korban terkait kasus HAM berat yang menimpa mereka beberapa tahun silam.
”Pemerintah harus bertanya apa yang diinginkan para korban dan diskusi itu harus dilakukan di ruang terbuka. Langkah itu merupakan prasyarat utama yang dibutuhkan untuk menempuh proses KKR atau tidak,” ujar Anam, Kamis (2/1/2020), di Jakarta.
Jika pemerintah membutuhkan, lanjutnya, Komnas HAM siap memberikan alamat semua korban yang jumlahnya ribuan jiwa dan memfasilitasi pertemuan korban dengan pemerintah. Pola komunikasi yang dilakukan pemerintah dengan korban selama ini, kata Anam, tidak murni dan terbuka, sehingga para korban tidak sepenuhnya merasakan perhatian dari pemerintah.
Lebih lanjut Anam menjelaskan, puluhan tahun para korban pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus 1965 dan kasus Papua, masih dibiarkan oleh negara menerima stigmatisasi serta kegiatannya dibatasi negara. Padahal, prinsip utama KKR adalah kepastian dari negara bahwa pelanggaran HAM serupa tidak berulang kembali.
”Kalau tidak ada pengungkapan kebenaran, bagaimana hadir jaminan kasus pelanggaran HAM tidak terulang. Atas dasar itu, ujung dari seluruh proses terhadap penyelesaian kasus HAM masa lalu adalah permohonan maaf dari negara,” ucap Anam.
Sebelumnya, 13 Desember lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengundang Komnas HAM dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membahas penyelesaian 11 kasus HAM berat masa lalu. Setelah pertemuan itu, ketiga pihak sepakat memulai pembahasan RUU KKR pada Januari 2020.
Adapun 11 kasus HAM berat itu ialah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (1982-1986), pembantaian Talangsari di Lampung (1989), tragedi rumoh geudog di Aceh (1989-1998), penembakan mahasiswa Trisakti (1998), penculikan dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998), tragedi Semanggi I dan II (1998-1999), tragedi simpang kertas kraft Aceh (1999), peristiwa Wasior di Papua (2001), kasus Wamena di Papua (2003), dan tragedi Jambu Keupok di Aceh (2003).
Semua berkas penyelidikan itu telah diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung.
Mahfud mengungkapkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan salah satu prioritas Presiden Joko Widodo. Terkait dengan hal itu, pihaknya telah bertemu dan berbicara dengan pemangku kepentingan terkait, seperti Jaksa Agung, Komnas HAM, dan kelompok masyarakat sipil. Bahkan, Mahfud menegaskan, pemerintah juga telah berkomunikasi dengan para korban.
Berdasarkan komunikasi dan koordinasi itu, tambahnya, pemerintah telah menyusun skema penyelesaian kasus HAM berat masa lalu itu. Hal itu berpedoman pada asas penegakan dan perlindungan HAM.
”Mari kita akhiri pembahasan yang tidak ada ujungnya terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Arah yudisial jalan serta jalur non-yudisial juga jalan karena ada penyelesaian secara politik,” ujar Mahfud.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menyatakan, periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi gagal mengambil langkah dalam mengungkap kebenaran peristiwa, menginisiasi akuntabilitas hukum, memberikan reparasi kepada korban dan keluarga korban, serta menjalankan reformasi sektor keamanan sebagai bagian dari proses penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.
”Dilihat dari aspek pemulihan korban, pemerintah juga belum memenuhi hak mendasar korban secara menyeluruh. Masih banyak korban, terutama di luar Jakarta, yang belum menerima hak-haknya,” kata Yati.
Untuk memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, lanjutnya, pemerintah harus memberikan hak-hak kepada warga negara yang telah disakiti dan dikorbankan oleh negaranya sendiri. Bukan sekadar memberikan hak dasar korban sebagai warga negara, di antaranya bantuan kesehatan.