Membela kepentingan negara sebagai wujud rasa cinta terhadap Tanah Air menjadi hal yang semestinya dilakukan oleh setiap warga negara. Namun, program bertujuan membangun kesadaran bela negara perlu lebih disosialisasi.
Oleh
SUSANTI AGUSTINA S/ Litbang Kompas
·4 menit baca
Membela kepentingan negara sebagai wujud rasa cinta terhadap Tanah Air menjadi hal yang semestinya dilakukan oleh setiap warga negara. Namun, program dengan tujuan membangun kesadaran bela negara perlu lebih disosialisasikan dan diperbaiki guna mengikis kekhawatiran bayang-bayang militerisme.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang mencatat masih adanya pro dan kontra terkait program Bela Negara yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan yang disahkan DPR, 26 September 2019. Pro dan kontra ini tergambar dari terbelahnya sikap responden.
Sebagian responden (44,6 persen) khawatir program ini bisa melahirkan watak militeristik di kalangan masyarakat sipil. Namun, sebagian responden lain (48,9 persen) menyatakan tidak mengkhawatirkan hal tersebut.
Keterbelahan ini boleh jadi tidak lepas dari kurangnya informasi kepada publik terkait program Bela Negara. Tiga perempat responden mengaku tidak mengetahui program ini meskipun secara umum mereka menangkap bahwa bela negara ini bagian dari wujud kecintaan terhadap negara, bangsa, dan Tanah Air. Maka, secara konseptual mereka memandang positif program Bela Negara.
Sikap positif ini ditunjukkan responden terhadap langkah pemerintah yang berupaya menumbuhkan dan menguatkan kesadaran bela negara. Namun, terlepas dari sikap positif responden ini, rasa khawatir publik tetap melekat terkait belum maksimalnya pengetahuan mereka tentang program Bela Negara ini.
Selain soal bela negara, UU No 23/2019 juga mengatur soal komponen cadangan, komponen pendukung, dan mobilisasi.
Makna bela negara
Pada awal UU ini dibahas, yang ketika itu masih bernama Rancangan UU Komponen Cadangan Pertahanan Negara, publik merespons dengan penolakan.
"Sebagian besar makna dari persepsi responden cenderung positif sehingga sebagian besar dari mereka (lebih dari 85 persen) menganggap bela negara sebagai sesuatu yang perlu dilakukan"
Jajak pendapat yang pernah dilakukan Kompas pada saat itu menunjukkan, masyarakat justru khawatir pengerahan komponen cadangan dapat membentuk watak militeristik masyarakat yang kian kuat (Kompas, 19/11/ 2007). Namun, seiring perkembangan sosial politik dan relatif menguatnya nuansa nasionalisme dalam UU yang baru membuat publik kini apresiatif.
Jajak pendapat pada pekan lalu juga mencatat, bela negara dimaknai beragam. Namun, secara umum, mayoritas publik (tiga perempat responden) melihat bela negara dalam kerangka membela kepentingan nasional dan NKRI dari ancaman pihak luar atau di saat genting. Di dalamnya ada 12 persen responden yang menilai bela negara sebagai konsep dari kondisi militeristik.
Sebagian besar makna dari persepsi responden cenderung positif sehingga sebagian besar dari mereka (lebih dari 85 persen) menganggap bela negara sebagai sesuatu yang perlu dilakukan.
Apalagi publik menilai saat ini ada ancaman, baik yang tampak maupun tidak tampak, terhadap keamanan negara. Sumber ancaman itu tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam negeri, baik berupa ancaman militer maupun nonmiliter. Ancaman nonmiliter cenderung berdimensi sosial budaya, misalnya hal yang saat ini santer dibahas, yaitu terancamnya Pancasila oleh ideologi lain.
Namun, perihal kemiskinan, keterbelakangan, dan rasa ketidakadilan bisa pula memunculkan ancaman stabilitas negara. Isu-isu tersebut dapat menjadi titik pangkal timbulnya separatisme, terorisme, dan radikalisme.
Untuk itulah UU No 23/ 2019 semakin mendorong mobilisasi warga sipil untuk kepentingan bela negara. UU tersebut menegaskan, warga sipil berhak dan wajib ikut serta dalam bela negara, baik sebagai komponen cadangan maupun komponen pendukung.
"Lewat pembinaan kesadaran bela negara, diharapkan muncul warga negara yang akan menjadi kader bela negara dengan mental dan karakter cinta Tanah Air, kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan pada Pancasila sebagai ideologi negara, dan kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara lewat kiprah di profesi masing-masing"
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan telah menyusun kerangka pembinaan yang diawali dengan pembentukan kader bela negara, pemeliharaan kader, pemberdayaan, dan penataan sarana prasarana.
Membentuk kader
Lewat pembinaan kesadaran bela negara, diharapkan muncul warga negara yang akan menjadi kader bela negara dengan mental dan karakter cinta Tanah Air, kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan pada Pancasila sebagai ideologi negara, dan kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara lewat kiprah di profesi masing-masing.
Sesuai target Kemenhan, pembinaan dilakukan lebih dahulu terhadap aparatur sipil negara (ASN). Pembinaan diperkuat dengan memasukkan materi nilai-nilai bela negara dalam pendidikan calon ASN, pelajar, serta mahasiswa. Kebijakan ini disambut publik secara positif. Hampir semua responden (di atas 80 persen) menilai upaya itu akan berdampak positif terhadap meningkatnya nasionalisme ASN, pelajar, dan mahasiswa.
"Sepertiga responden khawatir pembinaan kesadaran bela negara akan mengembalikan watak militeristik"
Meskipun persetujuan publik terlihat kokoh, tetap ada kekhawatiran terkait program Bela Negara. Sepertiga responden khawatir pembinaan kesadaran bela negara akan mengembalikan watak militeristik.
Direktur Imparsial Al Araf juga menyatakan kekhawatiran tersebut. Menurut dia, pelibatan warga sipil yang sudah menjadi komponen cadangan dalam menghadapi ancaman nonmiliter dapat menimbulkan masalah, karena berpotensi melegalisasi proses militerisasi sipil yang juga dapat digunakan untuk menghadapi kelompok masyarakat dan pada akhirnya rentan memicu konflik horizontal (Kompas, 29/11/2019).
Untuk itu, publik juga ingin metode pelatihan fisik dibarengi penguatan kesadaran bela negara secara konseptual melalui pendidikan di dalam kelas. Ada ruang diskusi secara intelektual guna memperkuat kesadaran bela negara tersebut. Hal ini penting agar publik memahami arah dan tujuan program ini.
Di tengah minimnya pengetahuan terhadap program Bela Negara, sebagian besar responden mengaku antusias jika mendapatkan kesempatan mengikuti program tersebut. Sepertiga di antara mereka berusia 17-35 tahun, sebagai kelompok usia yang menjadi sasaran program Bela Negara.
Dengan kondisi masih minimnya pengetahuan publik terhadap program Bela Negara, perlu sosialisasi yang lebih luas dari pemerintah.