JAKARTA, KOMPAS - Wacana untuk mengembalikan proses pilkada menjadi tidak langsung atau dipilih DPRD setempat terkesan merampas kembali hal rakyat yang telah mulai berdaulat. Padahal yang mesti difokuskan ialah mengatasi dampak negatif akibat penyelenggaraan pilkada langsung sebagai proses demokrasi yang terus berkembang.
Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, Jumat (15/11/2019) mengatakan, saat ini demokrasi di Indonesia semakin memastikan rakyat berkuasa atas dirinya. Perkembangan demokrasi sejak reformasi dinilai menunjukkan praktik demokrasi yang semakin maju. Oleh karena itu, proses yang tengah berjalan itu sebaiknya jangan dihentikan. Sebaliknya, menurut Zulfikar, proses itu justru mesti semakin dimantapkan.
“Tinggal eksesnya dicegah dan diperbaiki,” sebut Zulfikar.
Ia mengingatkan, mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak menjamin praktik politik uang tidak terjadi. Praktik tersebut juga cenderung terjadi. Menurut Zulfikar, wacana untuk kembali ke model pilkada tidak langsung atau melalui DPRD menunjukkan adanya ketidaksabaran dalam menegakkan kedaulatan rakyat.
“Mustinya kan sabar. Kita ini sudah on the track (berada di dalam jalur). Ayo kita tetap di dalam jalur itu. Tinggal kita perbaiki ekses negatifnya,” ujar Zulfikar.
Menurut Zulfikar, pilkada tak langsung atau lewat DPRD memang tetap merupakan praktik yang demokratis. Akan tetapi perkembangan menunjukkan, semakin lama posisi kedaulatan rakyat makin mantap dengan praktik pilkada langsung. Jika posisi tersebut dikembalikan lagi kepada DPRD, maka hal itu terkesan merampas kembali hak rakyat itu.
Saat ini, ada wacana untuk mengembalikan pilkada ke DPRD setempat. Pada Rabu (6/11) lalu, digelar dialog bertema “Pilkada Serentak dan Tantangan Membangun Daerah” di Gedung DPR, Jakarta. Pada kesempatan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono mengajukan gagasan agar pilkada dengan pilihan langsung rakyat hanya dilakukan pada tingkat gubernur saja. Pemilihan di tingkat bupati atau walikota, diusulkan dilakukan DPRD setempat.
Efektif
Namun, mengenai usulan pilkada tak langsung, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan bahwa arahan presiden untuk isu tersebut jelas. Pemerintah tetap memrioritaskan pilkada langsung karena dianggap masih efektif. Namun, sejumlah kekurangan perlu diperbaiki baik dari sisi pencalonan maupun penyelenggaraan.
“Kita akan sisir lagi aspek-aspek apa saja yang menyebakan (proses) mencalonan (berbiaya) mahal,” sebut Akmal.
Hal itu akan dibicarakan dengan semua pihak termasuk di didalamnya masyarakat, partai politik, dan banyak hal lain terkait penyelenggaraan yang lebih efisien. Pilkada tak langsung diakui memang lebih efisien jika dilihat dari penyelenggaraan, namun belum tentu juga mekanisme pemilihan melalui DPRD itu menjadi tidak mahal.
Akan tetapi hal terpenting, imbuh Akmal, ada semangat demokrasi yang tercederai jika pilkada digelar tidak langsung. Hal ini terkait dengan aspek kedaulatan rakyat.
Saat ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan segera antara lain mengedukasi masyarakat. Menurut Akmal, edukasi ini dilakukan terkait dengan maraknya praktik politik uang yang sebagian ditandai dengan istilah “NPWP” (Nomor Piro Wani Piro). Istilah tersebut memiliki arti memilih calon nomor berapa dan berapa jumlah uang yang diperoleh atas pilihan tersebut. Praktik tersebut dinilai bisa membahayakan untuk masa depan.