Dinilai Berwatak Kapitalis, RUU Pertanahan Ditolak
JAKARTA, KOMPAS - Organisasi masyarakat sipil dan para pakar agraria menolak Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan. Proses pembahasan dinilai tidak transparan dan subtansi aturan diprediksi memperparah lima krisis agraria.
Kelima krisis agraria yang semestinya diatasi RUU Pertanahan adalah ketimpangan struktur agraria, maraknya konflik agraria, meluasnya kerusakan ekologi, cepatnya laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
"RUU Pertanahan yang dibahas saat ini, spiritnya menggantikan Undang-Undang ( tentang Peraturan Dasar) Pokok-pokok Agraria (Nomor 5 tahun 1960), bahkan wataknya kapitalis neoliberalis. RUU Pertanahan malah mendorong liberalisasi pertanahan. Bila RUU Pertanahan disahkan, pasti lima krisis agraria akan semakin parah," tutur Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Beberapa pengaturan dalam RUU Pertanahan ini mengutamakan pengaturan ulang hak guna usaha (HGU) dengan mengutamakan lahan skala besar, impunitas penguasaan tanah melalui HGU, serta pengaturan Bank Tanah. Bank Tanah disebut pemerintah sebagai upaya mengumpulkan cadangan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, atau kepentingan strategis lain.
RUU Pertanahan ini mengutamakan pengaturan ulang hak guna usaha (HGU) dengan mengutamakan lahan skala besar, impunitas penguasaan tanah melalui HGU, serta pengaturan Bank Tanah.
Namun, kata Dewi, tak ada definisi yang jelas mengenai kepentingan umum untuk peruntukan bank tanah. Bila mengacu pada UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, kepentingan umum didefinisikan pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional. Apalagi, selama ini pemerintah mengeluhkan kesulitan mengadakan lahan untuk proyek-proyek pembangunan.
"Proyek infrastruktur dan proyek strategis nasional seringkali mengeksekusi hak rakyat setempat," tambah Dewi.
Selain beberapa masalah tersebut, beberapa kelemahan RUU Pertanahan yang diinisiasi DPR lainnya adalah bertentangan dengan UUPA 1960, hak pengelolaan lahan (HPL) dan penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN) yang dihapus UUPA 1960 tapi dimunculkan kembali, kontradiksi dengan agenda dan semangat reforma agraria, tiadanya pengaturan penyelesaian konflik agraria, sektoralisme pertanahan dan pendaftaran tanah, dan pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat adat.
RUU Pertanahan juga tidak sejalan dengan agenda dan semangat reforma agraria. Reforma agraria dalam RUU Pertanahan dikerdilkan hanya sekadar program penataan aset dan akses. Prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, dan pendanaan untuk menjadi reforma agraria malah tidak diatur. Dalam bab terkait hak atas tanah, pendaftaran tanah, pengadaan tanah dan bank tanah serta pengadilan pertanahan, lanjut Dewi, semangat reforma agraria tidak tercermin.
Pengaturan penyelesaian konflik agraria juga hanya sebatas sengketa pertanahan biasa. Padahal, karakter dan sifat konflik agraria struktural bersifat kriminal luar biasa yang berdampak luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis, dan bahkan memakan korban nyawa.
Mengenai hak ulayat masyarakat adat, RUU Pertanahan juga tidak menyediakan langkah konkret dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat itu. Padahal, konstitusi jelas mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.
"Karenanya kami, perwakilan gerakan masyarakat sipil, gerakan tani, masyarakat adat, nelayan, akademisi, dan pakar agraria menilai RUU Pertanahan menolak RUU Pertanahan disahkan," tambah Dewi.
Selain KPA, gerakan masyarakat sipil ini antara lain Perjuangan Pergerakan Petani Indonesia, Serikat Petani Pasundan, Serikat Nelayan Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Aliansi Petani Indonesia (API), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Tani Indramayu, dan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS).
Adapun pakar agraria yang ikut mendukung penolakan ini antara lain Gunawan Wiradi (IPB), Endriatmo Soetarto (IPB), Achmad Sodiki (UNIBRAW), Hariadi Kartodihardjo (IPB), Ida Nurlinda (UNPAD), M Shohibuddin (IPB), Rikardo Simarmata (UGM), dan Laksmi Adriani Savitri (UGM).
Sementara itu, pemerintah tetap mengupayakan pembahasan RUU Pertanahan rampung September 2019 seperti harapan DPR periode 2014-2019. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, karena RUU tersebut inisiatif DPR, pemerintah harus memberikan tanggapan dalam bentuk daftar inventarisasi masalah (DIM).
"Jadi kita bukannya mendesak (rampung September), kalau mau DPR sendiri yang mendesak. Kita harus mengikuti itu. Pemerintah juga berkepentingan tentang pentingnya suatu sistem pendaftaran pertanahan itu," tutur Wapres Kalla kepada wartawan di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Dalam rapat tertutup sehari sebelumnya di Istana Merdeka, Jakarta, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djalil mengatakan, pembahasan lebih lanjut atas masalah sistem tunggal administrasi lahan akan dikoordinasikan oleh Wapres.
Masih belum adanya kata sepakat antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait sistem tunggal administrasi lahan, menurut Kalla, pada intinya adalah semua lahan di negeri ini harus terdaftar supaya tidak timbul masalah hukum. Kepastian ini sekaligus menghindarkan tumpang-tindih kepemilikan. Untuk itu, pemerintah akan menyelesaikan ini dalam satu sampai dua pekan.
Mengenai penolakan organisasi masyarakat sipil, Wapres Kalla menilai justru RUU Pertanahan yang disiapkan akan melindungi hak masyarakat. Kejelasan pendaftaran hak atas tanah ini membuat pihak lain tidak bisa seenaknya memindahkan lokasi kampung atau hutan, misalnya.