Elemen Masyarakat Sipil Pantau Kampanye Rapat Umum
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kampanye rapat umum Pemilu 2019 yang dimulai Minggu (24/3/2019) dipergunakan sebagian lembaga dan relawan pemantau sebagai sistem peringatan dini. Pemantauan yang dilakukan pada tahapan rapat umum ini juga dipergunakan untuk menyusun pemetaan awal dan agar dapat dijadikan opini alternatif terkait apapun yang terjadi dalam proses tersebut.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta, Minggu (24/3/2019) usai “Launching Pemantauan 85 Ribu Pemantau di 15 Provinsi,” di Jakarta mengatakan rapat umum menjadi bagian penting. Pasalnya, di rapat umum inilah semua kandidat mencurahkan segala sumber daya.
“(Ada) Potensi gesekan panas (karena) situasi pilpres (pemilihan presiden),” kata Kaka.
Ia mengatakan, walaupun belum masanya melakukan pemantauan di tempat pemungutan suara (TPS), minimal dengan pemantauan pada rapat umum ada gambaran informasi yang didapatkan. Dokumentasi terhadap apapun yang terjadi juga dapat dilakukan.
“Rapat umum (diperlakukan sebagai) embedded monitoring,” ujar Kaka.
Menurut dia, hasil pantauan tersebut akan menjadi semacam sistem peringatan dini dan pendapat atau opini kedua terhadap hal-hal yang muncul. Kaka menjelaskan, fase itu lantas akan dilanjutkan dengan masa tenang, hari-H, dan pasca hari pencoblosan.
Senada dengan Kaka, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR), Alwan Riantoby mengatakan bahwa pemetaan awal untuk dijadikan peringatan dini menjadi salah satu tujuan dalam pemantauan pada fase rapat umum. Ini selain tentu saja pemantauan di periode selanjutnya, termasuk masa tenang, hingga hari pencoblosan dan sesudahnya.
Alwan mengatakan, pada masa rapat umum ini juga mesti diawasi pula modus dan praktik politik uang. Terutama yang mungkin dilakukan sebagian caleg menyusul fokus sebagian besar orang yang tertuju pada kampanye pilpres.
Ia menambahkan, selain itu dalam kampanye rapat umum juga terdapat sejumla isu krusial menyangkut potensi konflik. Hal ini menysul adanya potensi gesekan di lokasi kampanye yang berdekatan, sekalipun telah dibedakan waktunya berdasarkan zonasi.
Alwan juga mengingatkan adanya potensi konflik di akar rumput saat salah satu pasangan calon berkampanye di lokasi yang menjadi basis masa pasangan rivalnya. Ini dibarengi dengan adanya kemungkinan mobilisasi massa yang tentu saja mesti dintisipasi segala aspek kerawanannya.
Pemantau Siap
Sementara itu, tidak kurang 85 ribu pemantau di 15 provinsi ditargetkan turut dalam gerakan yang diinisiasi sejumlah organisasi non pemerintah. Masing-masing adallah KIPP Indonesia, JPPR, Sindikasi Pemilu Demokrasi, Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, dan Mata Rakyat. Alwan mengatakan bahwa gerakan itu merupakan kelanjutan dari “Posko Lapor Hak Pilih” yang mereka mulai sejak sekitar tiga pekan lalu.
Afwan mengatakan, jumlah 85 ribu pemantau merupakan representasi sekitar 10 persen jumlah TPS. Sementara sebaran di 15 provinsi merupakan gambaran sebagian dari keseluruhan provinsi di Indonesia.
Adapun menurut Kaka, sebaran pemantau mungkin bisa bertambah jadi 17 provinsi dan diprediksi akhirnya menjadi 28 provinsi. Adapun enam provinsi lainnya, di antaranya Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Bengkulu masih belum dipastikan keikutsertaannya sekalipun sejumlah aktivis terkait sudah mulai menjalin kontak.
Ia menuturkan, distribusi pemantau juga dimaksimalkan untuk mencegah kemungkinan bertumpuknya para pemantau di salah satu lokasi TPS dan atau kosongnya pemantau di wilayah TPS lain. Kaka mengutarakan, seluruh elemen pemantau terutama sumber daya yang berasal dari kampus telah terpetakan sesuai alamat masing-masing.
Kaka menambahkan, selanjutnya akan dilancurkan pula aplikasi berbasis teknologi informasi untuk kebutuhan pemantauan pemilu dalam lingkup lebih luas. Di dalamnya termasuk kemungkinan menyertakan saksi partai politik sebagai pemantau setelah melalui tahapan verifiksi tertentu untuk memastikan kejujuran pemantauan.