JAKARTA, KOMPAS — Penindakan terhadap korporasi makin dioptimalkan. Tidak hanya mengejar besarnya kerugian negara, penindakan terhadap korporasi juga dimaksudkan untuk membangun dunia usaha di Indonesia dan meningkatkan daya saing di tingkat global untuk kemajuan Indonesia.
Setelah menetapkan PT Merial Esa yang merupakan milik terdakwa Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka korporasi dalam perkara kasus suap pejabat Badan Keamanan Laut RI, KPK mengambil langkah lanjutan dengan membekukan uang sekitar Rp 60 miliar yang berada di rekening perusahaan tersebut. Fahmi sendiri telah menjadi terpidana dalam kasus suap pejabat Bakamla RI, tetapi kemudian kembali menjadi terdakwa terkait dengan suap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin.
”Hal itu semestinya menjadi pembelajaran bagi korporasi lain untuk segera membangun sistem pencegahan korupsi dan sistem pengendalian internal korporasi. KPK sudah membuat panduan pencegahan untuk dunia usaha yang dapat diterapkan. Dengan demikian, suap tidak lagi menjadi jalan keluar bagi korporasi untuk mengurus atau mendapat proyek,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Berdasarkan data KPK, pihak swasta yang diproses karena terlibat dalam perkara korupsi karena menyuap pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif tercatat 238 orang sepanjang 2004 hingga Februari 2019. Untuk korporasi sendiri, tercatat lima perusahaan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 diterbitkan pada akhir 2016.
Salah satu perusahaan dari lima korporasi itu, yakni PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Januari 2019. PT NKE diperintahkan membayar denda Rp 700 juta, uang pengganti Rp 85,4 miliar, dan tidak diperbolehkan ikut lelang pemerintah selama 2 tahun.
”Saat korporasi diproses, baik dalam kasus suap maupun kerugian keuangan negara, maka KPK akan memproses keuntungan yang didapatkan akibat tindak pidana tersebut. Apalagi, jika sudah ada putusan hakim, hukuman bisa saja tidak sekadar denda atau uang pengganti. Ini tentu berdampak terhadap tenaga kerjanya juga,” kata Febri.
Selain itu, tindakan korporasi menyuap pihak berwenang menutup peluang kompetisi yang semestinya terjadi. Sebab, korporasi yang dijerat KPK diketahui berhasil memenangi sejumlah lelang proyek dengan melakukan suap. Padahal, pemerintah saat ini gencar mempermudah kemudahan berusaha agar peringkat Ease of Doing Business yang kini berada pada ranking ke-73 dapat meningkat.
Kemudahan berbisnis
Apabila mengacu pada konstruksi perkara suap yang melibatkan swasta, Febri mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan perkara lain ke arah tindak pidana korporasi. Akan tetapi, hal ini bergantung pada bukti yang ditemukan, keuntungan yang diperoleh, hingga pengetahuan pejabat tinggi korporasi terhadap suap yang dilakukan.
Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, suap yang diberikan itu dianggap berpengaruh untuk memudahkan sejumlah urusan, antara lain 83 persen responden menyatakan urusan yang rumit cepat selesai dengan memberikan uang atau hadiah di luar ketentuan resmi kepada pegawai pemerintah. Sementara itu, 80 persen menyatakan, pemberian karena budaya membalas budi.
Kemudian, 78 persen berpersepsi kurang bagusnya penegakan hukum. Sisanya, dengan persentase di atas 70 persen, menyatakan, karena kedekatan pebisnis dengan pejabat, sudah terbiasa melakukan, prosedur resmi yang terlalu rumit, hingga ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa. Kendati demikian, sebanyak 64,4 persen responden menyadari hal ini tidak wajar terjadi.
Akan tetapi, aturan larangan memberikan suap atau gratifikasi kepada pegawai pemerintah itu nyatanya belum tersedia. Sebanyak 70,3 persen responden mengakui tidak ada aturan tertulis di perusahaan mereka yang melarang karyawan dan pemegang saham untuk memberikan kepada pegawai pemerintah di luar ketentuan resmi.
Hasil ini menguatkan temuan Transparency International Indonesia melalui hasil kajian Transparency in Corporate Reporting: Perusahaan Terbesar Indonesia pada Juli 2016. Dari kajian itu, skor rerata dari 100 perusahaan besar di Indonesia yang diteliti adalah 3,5/10. Skala 0 berarti perusahaan sangat tidak transparan dan 10 menandakan bahwa perusahaan sangat transparan.
Kemudian, sebanyak 74 perusahaan dari 100 korporasi besar ini tidak melakukan pelatihan antikorupsi bagi para karyawan dan direktur perusahaan. Untuk gratifikasi, sebanyak 61 dari 100 perusahaan di Indonesia belum memiliki aturan tentang larangan pemberian dan penerimaan gratifikasi.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyampaikan, isu penanganan korupsi swasta ini harus dibahas secara serius. Selain panduan yang pencegahan korupsi dan gratifikasi di lingkungan korporasi yang harus segera diterapkan tiap perusahaan, Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC) telah memberikan rekomendasi agar Indonesia segera mengaturnya dalam sebuah undang-undang.
”Ini perlu segera dieksekusi. Selama ini baru korupsi publik. Padahal, korupsi swasta nilainya jauh lebih besar kerugiannya,” ujar Adnan.