Masyarakat Belum Memahami Sumber Pendanaan Terorisme
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat masih banyak yang belum paham perihal pendanaan terorisme yang dapat dilakukan melalui berbagai metode. Pemahaman ini perlu terus ditingkatkan untuk mencegah peluang serta kemampuan pelaku teror melakukan aksinya.
Konsultan Senior Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) Nasir Abbas di Jakarta, Selasa (18/12/2018), berpendapat, pemahaman terorisme perlu terus dilakukan karena masyarakat masih belum membedakan tujuan penggunaan uang, misalnya dari permintaan sumbangan oleh organisasi tertentu.
“Masyarakat umum tidak tahu sumbangan dapat digunakan untuk membeli senjata, tidak hanya untuk kebutuhan pangan dan sandang,” tutur Nasir dalam peluncuran IPP APUPPT 2018. IPP APUPPT adalah Indeks Persepsi Publik Indonesia Anti Pencucian Uang dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme yang diluncurkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam IPP APUPPT Indonesia 2018, IPP tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) tercatat sebesar 5,24 poin. Skor tersebut hanya naik sedikit dibandingkan tahun 2016 (4,89 poin) dan 2017 (5,06 poin). Skor itu dinilai masih rendah. Skor maksimal adalah 10.
Masyarakat tidak memahami TPPT dapat terjadi melalui media pendanaan alternatif lainnya, seperti sistem keuangan virtual, logam mulia, dan organisasi kemasyarakatan.
Nasir mengatakan, besaran dana yang diterima teroris berdampak signifikan terhadap kapasitas aksi teror. Semakin kecil dana yang diperoleh, semakin kecil kesempatan teroris untuk beraksi. Itu terlihat dari teror bom yang belakangan terjadi di Indonesia, seperti bom menggunakan panci pada 2017. Daya ledak bom yang kecil salah satunya karena minimnya pendanaan kelompok teror itu.
Ia membandingkan daya ledak bom panci dengan kasus bom di Bali pada 2002 dan 2005. Bom yang terjadi pada waktu itu jauh lebih besar karena mendapat dukungan dana dari jaringan teroris luar negeri, Al Qaeda. “Pengiriman dana semakin diperketat sehingga aksi teror di Indonesia semakin kecil,” ujar Nasir.
Namun, pemerintah perlu terus mengawasi strategi teroris luar negeri untuk memberi bantuan dana ke Indonesia. Salah satunya adalah pemberian uang tunai kepada warga Indonesia yang berada di luar negeri untuk diambil kembali setelah tiba di Indonesia.
Kembali menilik data IPP APUPPT 2018, masyarakat dinilai telah memahami TPPT terjadi melalui sejumlah cara. TPPT dapat berbentuk pendanaan berupa fasilitas ke pelaku teror, pendanaan melalui penyelenggara transfer dana ilegal, dan pendanaan melalui transfer bank.
Masyarakat meyakini faktor pendorong terjadinya TPPT adalah kesalahpahaman terhadap doktrin agama tertentu, perkembangan gerakan dan pola pikir radikalisme, serta penegakan hukum yang belum efektif.
Pencegahan
Inspektur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Amrizal mengatakan, peningkatan pemahaman secara bertahap berdampak positif dalam program pencegahan kejahatan terorisme berkembang di Indonesia. “Ini menunjukkan masyarakat semakin peduli,” tuturnya.
Menurut dia, salah satu strategi yang dilakukan BNPT untuk meningkatkan pemahaman adalah dengan sosialisasi secara berkala. BNPT telah membentuk 32 Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi.
Setiap FKPT beranggotakan delapan orang, terdiri dari tokoh agama, masyarakat adat, pemuda dan perempuan, media massa, dan komunitas seni.
FKPT bertugas menyosialisasikan cara menangkal ancaman radikalisme. Di dalam program tersebut, turut disebutkan pendanaan terorisme dapat berasal dari uang tujuan amal.
Asisten Deputi Koordinasi Kerja Sama Organisasi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Anindita Harimurti Axioma menambahkan, kerja sama solid lintas sektoral diperlukan memasuki era digital ini. TPPT kini dapat dilakukan secara digital melalui teknologi finansial (tekfin).