KPU Perlu Perkuat Argumentasi Hukum Soal Pencalonan Oesman Sapta
Oleh
Agnes Theodora dan Antony Lee
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum didorong menyiapkan argumentasi hukum yang kuat untuk mengantisipasi munculnya gugatan atas keputusan KPU terkait pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Argumentasi itu perlu didudukkan dalam konteks besar ketatanegaraan Indonesia.
KPU sudah memutuskan untuk menyurati Oesman Sapta, sebagai tindaklanjut dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memerintahkan KPU memasukkan nama Oesman ke daftar calon tetap (DCT) DPD. Surat itu berisi penjelasan bahwa Oesman diberi kesempatan hingga akhir masa validasi surat suara DPD akhir Desember ini untuk menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan parpol. Jika tidak diserahkan, maka Oesman tetap tidak akan dimasukkan KPU ke dalam DCT DPD.
Keputusan ini dianggap KPU merupakan jalan tengah yang mengakomodasi putusan PTUN Jakarta, tetapi juga tetap mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak boleh merupakan pengurus parpol.
Peneliti senior Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Kamis (06/12/2018) menuturkan, dialog tetap perlu dilakukan, tetapi KPU juga perlu menyiapkan respons jika ada upaya hukum lain yang dilakukan Oesman Sapta atas keputusan KPU tersebut.
“Jika ada upaya hukum melaporkan ke Kepolisian karena dianggap tidak melaksanakan putusan peradilan, KPU juga harus siap. Begitu juga kalau diadukan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu),” kata Hadar, yang juga mantan anggota KPU itu.
Dia mendorong KPU untuk menyiapkan argumentasi hukum yang kokoh, menjabarkan secara jelas bahwa esensi putusan Mahkamah Konstitusi sudah jelas, yakni peserta pemilu DPD bukan pengurus parpol dan hal itu diberlakukan di Pemilu 2019. Namun, Hadar juga berharap Oesman Sapta bisa melihat konteks besar keputusan KPU itu, yakni untuk menjalankan amanat konstitusi. Apabila kemudian Oesman Sapta mengadukan keputusan KPU itu ke penegak hukum, maka dia juga berharap penegak hukum juga bisa melihat konteks tersebut.
Sebelumnya, kuasa hukum Oesman Sapta, Gugum Ridho Putra, mengatakan, keputusan KPU itu menyalahi putusan PTUN yang secara jelas memerintahkan KPU untuk mencantumkan nama Oso di dalam DCT. Kendati demikian, pihak Oesman Sapta belum akan mengambil sikap apapun terkait dengan keputusan KPU dalam menyikapi putusan MK, MA, dan PTUN, lantaran pihaknya belum menerima pemberitahuan atau surat dari KPU. (Kompas, 06/12/2018).
Surat masih dipersiapkan
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya saat ini masih mempersiapkan surat untuk Oesman Sapta. KPU membutuhkan waktu untuk merumuskan argumentasinya. Tiga putusan hukum, baik dari Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan PTUN Jakarta, sedang dikaji. KPU berusaha merangkum ketiganya agar semua bisa dilaksanakan tanpa perlu menyalahi salah satu putusan.
“Sudah diputuskan (untuk mengirim surat), tetapi keputusan itu yang harus dituangkan dalam bentuk tertulis, dan ini yang masih dirumuskan, bagaimana argumentasi dasarnya, pasal-pasalnya. Belum bisa disampaikan, karena masih dirumuskan. Semoga bisa cepat,” kata Arief.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai tidak ada ruang bagi Oesman Sapta untuk melaporkan KPU ke Kepolisian dan DKPP. Langkah yang bisa dilakukan ialah dengan mengajukan sengketa atau dugaan pelanggaran administrasi ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Penting bagi Bawaslu untuk melihat persoalan secara jernih agar sikap yang diambil KPU dengan berkirim surat ke Oesman Sapta itu usaha maksimal yang bisa dilakukan untuk mengakomodasi putusan peradilan yang bertabrakan,” katanya.