JAKARTA, KOMPAS - Peran media massa berpengaruh besar terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tidak hanya sekadar penindakan melalui operasi tangkap tangan, langkah pencegahan korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi juga memerlukan ruang yang tepat agar tidak lagi program pencegahan hanya dipandang sebagai wacana bagi para penyelenggara negara.
Hal ini mengemuka dalam diskusi antara Pemimpin Redaksi Media dan Pimpinan KPK di Gedung KPK Jakarta, Rabu (28/11). Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy turut hadir dalam kegiatan ini. Ada pula Pemimpin Redaksi Kompas.com Wisnu Nugroho yang juga memenuhi undangan dari lembaga anti rasuah.
“Peran media massa sangat penting. Baik di pusat maupun di daerah, pejabatnya takut kalau ditulis media tentang hal yang negatif. Misal dengan menyoroti pola konsumsi dan gaya hidupnya. Rasa-rasanya efek pencegahannya luar biasa. Jangan gaya hidup itu baru diungkap setelah operasi tangkap tangan. Karena pejabat yang korup itu sudah nampak sebenarnya dari gaya hidupnya itu,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Sejumlah program pencegahan yang dilakukan KPK, lanjut dia, juga layak mendapat porsi publikasi yang cukup. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif yang juga ikut dalam diskusi ini menyampaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tidak hanya disumbang dari penangkapan yang dilakukan berulangkali oleh KPK.
“KPK menangkap tiap hari, tapi Indeks Persepsi Korupsi enggak naik-naik. Karena bukan hanya dengan menangkap, pelayanan publiknya juga harus baik. Karena kalau pelayanan publiknya enggak baik akan sama saja. Jadi, harus berimbang antara penindakan dan pencegahan. Begitu juga dalam pemberitaan,” kata Laode.
Berdasarkan IPK 2017 yang dirilis Transparency International, skor Indonesia berada di angka 37. Skor ini stagnan dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi, perkembangannya sejak 1999-2017 cukup signifikan dibanding negara lain. Meski begitu, Indonesia tetap perlu bergerak cepat.
Dalam kesempatan ini, Ninuk memberikan masukan pada KPK terkait upaya pemberantasan korupsi. Menurut Ninuk, hasil IPK dari negara lain perlu dijadikan acuan pembelajaran bagi KPK dan juga penegak hukum lain yang berkomitmen untuk memerangi korupsi mengingat celah untuk korupsi berada di berbagai sektor.
“Bagaimana bisa menyelesaikan korupsi, kalau tadi disebutkan kebutuhan Pilkada saja nilainya besar sekali. Belum lagi urusan perizinan. Swasta sesungguhnya juga tidak ingin mengeluarkan uang, tapi kalau tidak begitu bisa bertahun-tahun izin keluar. Sebenarnya, bisa untuk belajar dari negara lain. Kenapa mereka bisa? Kalau selamanya terus begini saja, pasti masih ada yang ditangkap lagi sehingga berharap ada perubahan yang signifikan,” tutur Ninuk.