JAKARTA, KOMPAS — Menyusul masih maraknya suap, gratifikasi, dan nepotisme di instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, pemerintah diminta mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal Pemerintah. Aturan itu diyakini mampu melahirkan sistem pengawasan yang lebih kuat.
”Penyelesaian RUU SPIP (Rancangan Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal Pemerintah) sudah mendesak. Kami berharap pemerintah segera menyelesaikan draf dan naskah akademiknya, kemudian diserahkan ke DPR,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo, Kamis (22/11/2018).
RUU SPIP sebenarnya sudah dirumuskan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) sejak Menpan RB dijabat Azwar Abubakar (2011-2014).
RUU SPIP juga termasuk salah satu RUU di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Namun, setiap kali pembahasan prolegnas tahunan antara DPR dan pemerintah, RUU itu tidak pernah masuk di dalamnya. Ini termasuk saat pembahasan Prolegnas Tahun 2019, bulan lalu. Pemerintah tidak mengajukannya sebagai salah satu RUU yang perlu masuk di Prolegnas 2019.
Padahal, untuk dibahas kemudian disahkan, RUU harus terlebih dulu masuk dalam prolegnas tahunan.
Namun, menurut Arif, sekalipun tidak masuk dalam Prolegnas 2019, RUU SPIP masih mungkin dimasukkan jika pemerintah dan DPR menyepakatinya. ”Perubahan prolegnas untuk memasukkan RUU tertentu bisa kapan saja. Syaratnya, pemerintah dan DPR sepakat bahwa RUU tersebut memang mendesak,” katanya.
Dia pun menilai RUU SPIP sudah memenuhi syarat kemendesakan untuk dibahas dan disahkan. Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah segera menyelesaikan draf dan naskah akademiknya, kemudian mengajukan perubahan prolegnas guna memasukkan RUU SPIP. Sebab, melalui RUU SPIP, sistem pengawasan di internal pemerintahan bisa lebih kuat. Sistem pengawasan yang lebih kuat bisa mencegah suap, gratifikasi, dan nepotisme di pemerintahan.
Melalui RUU SPIP ini pula posisi aparat pengawas internal pemerintah (APIP) atau inspektorat yang ada di setiap instansi pemerintah tidak lagi menjadi subordinat dari menteri/kepala lembaga atau kepala daerah. Posisi ini akan membuat inspektorat lebih independen dan obyektif dalam melakukan pengawasan.
RUU SPIP juga mengharuskan inspektorat membentuk sistem pengawasan dan pencegahan di setiap instansi. Hal lain, adanya keharusan untuk meningkatkan kapabilitas inspektorat.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Abdul Hakam Naja, juga mempertanyakan tak kunjung tuntasnya RUU SPIP. Padahal, RUU itu menjadi bagian dari paket undang-undang untuk reformasi birokrasi. RUU lainnya, Administrasi Pemerintahan dan Aparatur Sipil Negara, sudah disahkan di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
”Mengapa tidak tuntas-tuntas, padahal RUU itu sederhana? Ya, karena pemerintah tidak sungguh-sungguh,” katanya.
Apabila pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen pada pencegahan dan pemberantasan korupsi, RUU itu akan diprioritaskan. DPR pun akan menyetujui jika pemerintah mengusulkan RUU itu masuk prolegnas. Alasan pemerintah bahwa penyelesaian RUU SPIP terkendala karena berbenturan dengan UU yang sudah ada dinilainya tidak masuk akal. Sebab, jika RUU SPIP kelak disahkan, aturan di UU akan membatalkan aturan di UU sebelumnya yang isinya bertentangan dengan aturan yang ada di dalam UU SPIP.
Biaya politik tinggi
Selain RUU SPIP, Arif Wibowo melihat pentingnya evaluasi terhadap sistem politik untuk mengatasi biaya politik tinggi. Pasalnya, biaya politik tinggi selama ini kerap menjadi pemicu korupsi, termasuk korupsi di pemerintahan. Evaluasi itu di antaranya dengan mengkaji Undang-Undang (UU) Partai Politik, UU Pilkada, dan UU Pemilu.
”Perubahan di undang-undang bidang politik itu hanya menyangkut bagaimana membangun, merekonstruksi sistem perpolitikan kita agar tidak lagi berbiaya tinggi,” katanya.
Ini penting karena, menurut dia, sekalipun sistem pencegahan telah diperkuat, celah untuk korupsi tetap akan dicari karena para politisi dihadapkan pada tingginya biaya politik.
Salah satu yang perlu dikaji, menurut Arif, mengenai peran negara dalam membiayai partai politik. Pasalnya, meskipun beberapa waktu lalu bantuan negara untuk partai telah ditingkatkan, nilai bantuan masih jauh dari yang dibutuhkan partai. Jadi, masih terbuka kemungkinan partai mencari sumber-sumber dana ilegal guna menutupi kebutuhannya.