JAKARTA, KOMPAS – Meski perlahan, Komisi Pemberantasan Korupsi tetap berupaya menuntaskan sejumlah perkara lama yang ditanganinya. Aturan yang menyatakan KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi membuat lembaga anti rasuah wajib menyelesaikan kasus sebelum kedaluwarsa.
Di Gedung KPK Jakarta, Selasa (13/11/2018), mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom mengaku memberikan keterangan terkait dengan penyelidikan kasus Bank Century. Sekitar dua jam, Miranda diminta menjelaskan kembali mengenai prosedur pengambilan keputusan terhadap Bank Century.
“Bukan diperiksa ya, hanya ditanya keterangan. Masih penyelidikan mengenai Century. Enggak ada pertanyaan baru, cuma yang lama diklarifikasi aja makanya cepat. Saya juga enggak bawa apa-apa, enggak bawa dokumen sama sekali,” kata Miranda usai bertemu dengan tim lembaga anti rasuah.
Selain Miranda, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso juga menjadi salah seorang yang diminta keterangannya dalam proses penyelidikan perkara Bank Century ini. Wimboh pun mengaku kedatangannya berhubungan dengan perkara yang membuat mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya dijatuhi hukuman penjara.
Melalui putusan kasasi pada 2015, Budi Mulya divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Budi Mulya dinyatakan terbukti berbuat melawan hukum saat menyetujui pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek untuk Bank Century. Selain pemberian FPJP, kasus Bank Century ini juga fokus pada penentuan bank gagal berdampak sistemik dan penyertaan modal sementara.
Pada Mei 2018, KPK kembali membuka penanganan kasus ini. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diasnyah, penyelidikan masih berjalan hingga saat ini. Sekitar 21 orang telah diminta keterangannya. “Karena masih penyelidikan, KPK tidak dapat memberikan informasi yang lebih. KPK tetap harus bekerja secara hati-hati dan cermat,” ujar Febri.
Selain kasus Bank Century, KPK memiliki banyak pekerjaan rumah untuk merampungkan sejumlah perkara lama di samping melakukan operasi tangkap tangan. Antara lain, kasus pengadaan tiga Quay Container Crane di Pelindo II dengan Richard Joost Lino menyandang status tersangka selama hampir tiga tahun. Bahkan, ada kasus keberatan wajib pajak dengan tersangka Hadi Poernomo yang tak lagi ditindaklanjuti setelah kasusnya gugur di praperadilan.
Ada juga kasus pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls Royce PLC pada PT Garuda Indonesia yang menyeret mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar sebagai tersangka selama kurang lebih 1 tahun 10 bulan. Dalam hal ini, Febri menegaskan pihaknya berkomitmen untuk segera menyelesaikannya, tapi ada proses yang harus dilakukan dan memakan waktu tidak sebentar.
Hal serupa pernah dialami mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo dalam perkara suap Innospec kepada pejabat Pertamina. Suroso ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2011, tapi kasusnya sendiri baru disidangkan sekitar 2015. Begitu pula dengan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam perkara korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan ditetapkan sebagai tersangka pada April 2014. Sidang untuk Fadilah baru dilakukan pada 2016.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menyampaikan, KPK perlu tetap memberikan informasi tentang penanganan perkara ini agar tidak menimbulkan kecurigaan pada publik. Pemahaman tentang penyelesaian kasus korupsi yang tidak sederhana juga perlu dimengerti karena satu perkara dengan perkara lain berbeda tingkat penyelesaiannya. Apalagi jika ada perkara yang membutuhkan kerja sama lintas negara. “Yang terpenting jangan sampai kedaluwarsa,” ujar Akhiar.