JAKARTA, KOMPAS - Pemaknaan konstitusi idealnya mengikuti perkembangan zaman. Ini akan mendorong konstitusi senantiasa relevan dengan semangat zamannya. Pemaknaan yang kontekstual mencegah teks konstitusi mati dan membeku dalam konteks pemaknaan di masa lalu, sehingga membuat konstitusi itu rentan dan tidak mampu menjawab problematika kehidupan warga bangsa dalam zaman yang terus berkembang dan berubah.
Cara pandang yang kontekstual itu, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, tak hanya menempatkan hukum sebagai suatu ketentuan yang dibaca secara gramatikal atau tekstual. Cara pandang itu mempertimbangkan pula perkembangan pemikiran yang mengiringi pemaknaan teks hukum.
Konstitusi sebagai salah satu bagian dari sistem hukum pun memuat teks-teks yang niscaya tak banyak berubah dari masa ke masa. Namun, untuk menempatkan konstitusi itu agar terus relevan diperlukan pola pikir dan cara pemaknaan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga kontekstual.
”Maka, membaca konstitusi jangan hanya tekstual, tetapi juga konteksual sehingga kandungan maknanya tumbuh dan berkembang,” ujar Jimly, yang juga Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dalam diskusi panel peluncuran buku dalam rangka perayaan 50 tahun hakim konstitusi Saldi Isra, Kamis (8/11/2018), di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Membaca konstitusi jangan hanya tekstual, tetapi juga konteksual sehingga kandungan maknanya tumbuh dan berkembang
Sebanyak 15 buku diluncurkan, termasuk buku karya tiga hakim konstitusi lainnya, yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Manahan Sitompul. Buku lainnya ditulis akademisi Khairani Lubis dan Nani Mulyati, serta mantan hakim MK, yaitu Maria Farida Indrati dan Jimly. Hadir dalam acara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan para ahli hukum tata negara.
Peran Mahkamah Konstitusi
Menurut Palguna yang juga menjadi pembicara dalam diskusi panel, pemaknaan UUD 1945 sebagai suatu konstitusi ”yang hidup” menjadi salah satu peran krusial Mahkamah Konstitusi. Lembaga peradilan konstitusi seperti Mahkamah Konstitusi pun dikenal di negara-negara lain. Perdebatan mengenai peran Mahkamah Konstitusi itu mengemuka karena banyak pihak masih menyangsikan peran Mahkamah Konstitusi lantaran bisa membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh 500 legislator.
Sementara itu, Saldi mengatakan, peluncuran buku-buku tersebut meneruskan pekerjaan dasar hakim, yakni untuk terus menulis dan membaca.
”Dulu, kan, menulis buku ini menjadi tradisi di Mahkamah Konstitusi, dan itu yang ingin dihidupkan kembali. Ini hanya mengambil momentum saja untuk memotivasi tradisi menulis itu,” katanya.
Pakar HTN Refly Harun mengatakan, tradisi menulis mencerminkan semangat intelektual yang selalu ingin mencari kebenaran. karakter itu juga seharusnya dimiliki oleh hakim, sebab sebagaimana intelektual, hakim juga ingin menemukan kebenaran.
“Seorang hakim itu seharusnya sama dengan intelektual yang berusaha mencari kebenaran dengan membaca, mencari dalil-dalil, dan menuangkan pikiranya dalam kalimat yang argumentatif, rasional, logis, dan dengan referensi yang cukup. Putusan-putusan yang besar dan bernas itu kan dihasilkan dari proses intelektual semacam ini,” katanya.
Pengajar HTN Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan, peluncuran buku itu menjadi momentum bagi para hakim untuk kembali pada tradisi membaca dan menulis. Selama ini, ada kecenderungan penurunan kualitas putusan di MK, sehingga peluncuran buku ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas
“Dalam penulisan buku ada verifikasi, logika, hipotesis, dan itu menjadi penting untuk mengembalikan nalar yang sekian lama hilang. Tradisi tulis ini diharapkan makin kuat di MK, sehingga pendapat hukum menjadi lebih baik, dan substansi putusan MK bisa berkembang menjadi landasan teori dan hukum yang lebih baik,” ujar Zainal