Momen Krusial Media Konvensional
Ada tiga hal yang membuat misinformasi, hoaks, dan berita palsu dapat memengaruhi ranah publik. Imam Wahyudi
Sejumlah pihak menilai Pemilu 2019 akan menjadi penentu terhadap keberlangsungan nilai-nilai kebangsaan yang tengah di persimpangan jalan. Ancaman itu hadir seiring pengaruh konten negatif di dunia maya yang dapat memecah belah persatuan anak bangsa. Namun, sedikit yang menyadari, tidak hanya kesatuan sebagai bangsa yang dipertaruhkan, kompetisi politik itu juga menjadi momen krusial bagi peran media konvensional di Indonesia.
Kasus kabar bohong penganiayaan yang diproduksi Ratna Sarumpaet, awal Oktober silam, telah menunjukkan masifnya peran media sosial dalam diskusi dan perdebatan di ranah publik. Isu yang disebar dan ditanggapi tokoh-tokoh politik di dunia maya mampu memberikan pengaruh bagi kehidupan di dunia nyata, terutama sentimen masyarakat di akar rumput.
Ketika informasi itu muncul, media arus utama pun memberitakan peristiwa itu berdasarkan foto-foto yang tersebar sekaligus menampilkan pernyataan-pernyataan mengutuk aksi “penganiayaan” itu. Lalu, investigasi Kepolisian Negara RI memastikan kebohongan kabar penganiayaan itu. Akhirnya, perdebatan pun berakhir ketika Polri menjabarkan fakta dari penyebab wajah Ratna lembam, lalu diikuti pengakuan palsu Ratna.
Kasus itu pun menjadi sorotan karena keberadaan Ratna sebagai tim sukses Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tim sukses calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02 itu mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus “penganiayaan” itu. Pasca kebohongan Ratna terungkap, giliran Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang mendesak proses hukum harus tuntas.
Oleh karena itu, kontestasi politik adalah momen untuk menjamurnya berita palsu (fake news). Dalam jurnal bertajuk “Selective Exposure to Misinformation: Evidence from the consumption of fake news during the 2016 US presidential campaign (Januari, 2018)”, yang disusun oleh Andrew Guess, Brendan Nyhan, dan Jason Reifler, menunjukkan bahwa efek “ruang gema” (echo chamber) dan “gelembung penyaring” (filter bubble) di media sosial mampu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu menyebarkan informasi bohong.
Dalam jurnal itu diungkapkan bahwa Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 menjadi pertarungan nyata bagaimana kedua efek itu memengaruhi kemenangan Donald Trump terhadap Hillary Clinton. Mengambil sampel 2.524 warga Amerika yang aktif di media sosial sekaligus pemilih di Pilpres AS 2016, terungkap bahwa 27,4 persen warga AS mengonsumsi berita palsu baik yang pro-Trump maupun pro-Clinton pada pekan terakhir kampanye. Jumlah persentase itu setara dengan 65 juta pemilih.
Sebanyak 40 persen pemilih Trump paling banyak mengonsumsi situs berita palsu, sedangkan hanya 15 persen pemilih Clinton yang membaca berita palsu. Mayoritas berita palsu itu diakses melalui tautan di Facebook.
Sementara itu, dalam penelitian Knight Foundation berjudul “Disinformation, Fake News and Influence Campaigns on Twitter (Oktober, 2018)”, ditemukan sebanyak 6.610.875 cuitan atau retweet yang berhubungan dengan sekitar 600 situs berita palsu dan konspirasi dalam satu bulan sebelum hari pemilihan. Cuitan itu berasal dari 454.832 akun yang 73.296 akun, di antaranya, mengakses situs berita palsu itu 10 kali dalam 30 hari terakhir masa kampanye Pilpres AS 2016.
Tidak hanya di AS. Dalam satu sesi seminar internasional Indonesia-Uni Eropa yang bertajuk “Peran Media dalam Melawan Ujaran Kebencian dan Disinformasi di Indonesia dan Uni Eropa”, pekan lalu, di Jakarta, pengajar studi media Universitas Lorraine, Perancis, Tourya Guaaybes menuturkan, ujaran kebencian dan misinformasi marak di Perancis pasca serangan teroris 2015 lalu. Sasarannya, kaum minoritas dan muslim. Propaganda itu pun menjadi “bumbu” dalam Pemilu Perancis 2017 lalu.
Di Spanyol, urai Presiden Platform Ketahanan Kebebasan Informasi Spanyol, Virginia Perez Alonso, berita palsu merebak seiring gerakan politik di Catalonia yang memperjuangan kemerdekaan. Alonso mengungkapkan, pihaknya justru menemukan muara mayoritas berita palsu dan disinformasi berasal dari Rusia.
Penurunan kepercayaan
Menjadikan media sosial sebagai kiblat akses informasi ternyata membuat rentan publik terperdaya kabar bohong. Gejala untuk menjadikan media sosial sebagai pedoman untuk menerima berita terefleksi dalam hasil riset Pew Research yang berjudul “How Americans Encounter, Recall and Act Upon Digital News (Februari, 2017)”. Dalam riset itu 35 persen warga AS menjadikan media sosial sebagai rujukan utama informasi. Sementara itu, “hanya” 36 persen masyarakat AS yang merujuk situs dan aplikasi media arus utama untuk mengonsumsi berita di internet.
Fenomena itu berbanding lurus dengan hasil riset bertajuk “Americans’ Trust in the Mass Media” yang dikeluarkan Gallup pada September 2016 menunjukkan adanya penurunan signifikan kepercayaan publik AS terhadap media arus utama. Pada 2016, hanya 32 persen warga AS percaya terhadap media massa. Itu merupakan angka terburuk sejak riset itu dilakukan pada 1972.
Jumlah itu tentu sangat jauh dibandingkan pada 1976. Ketika itu media massa dipercaya sebanyak 72 persen publik AS sebagai akses utama informasi.
Penurunan kepercayaan kepada media arus utama berkaitan erat dengan kontestasi Pilpres AS 2016. “Banyak pimpinan Partai Republik dan pakar konservatif menilai Clinton menerima pemberitaan positif berlebihan dari media, sedangkan Trump mendapatkan perhatian yang negatif atau tidak adil. Ini kemungkinan menjadi alasan kepercayaan sejumlah pihak yang memiliki keterkaitan dengan Trump dan Republik terhadap media semakin menguap dari waktu ke waktu,” tulis laporan itu.
Sisi identik
Jelang Pilpres 2019 memang belum muncul kajian atau studi terkait pengaruh “ruang gema” dan “gelembung penyaring” di media sosial untuk mengarahkan para pemilih atau meningkatkan rasa fanatisme kepada calon presiden pilihan. Namun setidaknya ada sejumlah sisi identik antara kontestasi Pilpres 2019 dengan Pilpres AS 2016. Pertama, kontestasi berjumlah dua pasangan. Lalu, kedua, Indonesia juga merupakan pengguna media sosial aktif, termasuk untuk mengakses informasi.
Berdasarkan survei 2017 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebanyak 143,26 juta atau 54,68 persen warga Indonesia menjadi pengguna internet. Adapun, jumlah daftar pemilih sementara Pemilu 2019 berjumlah sekitar 185 juta orang.
Dari jumlah itu, 55,30 persen di antaranya menggunakan internet untuk membaca artikel. Sementara itu, survei yang dilakukan penyedia aplikasi peramban di Android, UC Browser, pada 2016 lalu, terungkap 95,4 persen pengguna internet di Indonesia mengakses berita dari telepon pintar. Sedangkan televisi digunakan 45,9 persen, lalu hanya 20,9 persen pengguna internet yang masih membaca koran atau majalah untuk mendapatkan berita. Akses berita di internet bahkan dilakukan lebih dari tiga kali sehari oleh 75,6 persen warga internet Tanah Air.
Penasehat bidang komunikasi dan informasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco), Lim Ming-Kuok, mengungkapkan, sebanyak 10 situs bertanggung jawab dalam distribusi 65 persen disinformasi, misinformasi, dan berita palsu daring. Untuk itu, Lim berharap, media arus utama mampu mengolaborasikan penyajian berita sesuai fakta dengan ikhtiar meningkatkan literasi publik.
“Sebutan ‘berita palsu’ adalah oxymoron. Jika itu kebohongan, tidak bisa menjadi berita. Jika itu berita, maka tidak bisa dipalsukan. Tokoh politik gemar melabelkan “’palsu’ untuk ide-ide yang tidak mereka suka,” kata Lim.
Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi menekankan, media konvensional harus tetap memegang komitmen untuk mengutamakan fakta, sehingga tidak mudah terpengaruh dengan “kebisingan” media sosial. Ia menjelaskan, media konvensional saat ini mulai bersinggungan dengan media sosial, bahkan cenderung ikut dipengaruhi media sosial.
Menurut Imam, terdapat tiga hal yang membuat misinformasi, hoaks, dan berita palsu dapat memengaruhi ranah publik. Pertama, adanya mispersepsi antara media sosial dengan produk jurnalistik, sehingga tulisan dan unggahan di media sosial seakan informasi yang valid. Kedua, kurang profesionalnya sebagian media sehingga mengutip media sosial tanpa verifikasi. Ketiga, media konvensional terlibat dalam rantai kebohongan yang diproduksi melalui media sosial.
Apakah kegaduhan di media sosial akan memberikan pengaruh signifikan pada kontestasi di Pemilu 2019? Dan, akankah peran media konvensional tergerus oleh media sosial? Enam bulan lagi akan terasa dampaknya.