JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 25 calon hakim agung mengikuti tahapan pengumpulan data dan penelusuran rekam jejak, setelah dinyatakan lolos dalam ujian tertulis. Kelulusan pada tahapan rekam jejak ini menjadi salah satu penilaian yang menentukan jalan para calon selanjutnya dalam seleksi. Integritas menjadi satu persyaratan kunci.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan, dalam tahapan pengumpulan data dan penelusuran rekam jejak ini, pihaknya bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Publik bisa turut mengawasi para calon hakim agung (CHA) dengan memberikan informasi kepada KY.
“Untuk mengontrol integritas para calon hakim agung, ada mekanisme rekam jejak, profile assesment (penilaian profil), professional assesment (penilaian profesional). Kalau itu lolos semua, nanti para calon juga akan dimintai pertanggungjawabannya melalui wawancara. Cara-cara itu sudah lama didiskusikan di perguruan tinggi, dan selama ini selalu diterapkan oleh KY. Dalam hal ini kami agak ketat,” kata Jaja.
Di luar integritas, kualitas calon hakim agung juga menjadi pertimbangan penting. Oleh karena itu, ada hakim-hakim yang sekalipun berpengalaman lama, tidak semuanya mampu lolos dalam ujian tertulis. Menurut Jaja, hal itu tergantung sepenuhnya pada hasil ujian tertulis. Dari total 81 peserta ujian tertulis, hanya 25 peserta yang lolos.
“Kalau ada hakim karier yang sudah lama dikenal baik atau berkualitas oleh publik, tetapi ternyata tidak lolos ujian tertulis, bukan berarti mekanisme seleksinya yang kurang baik. Sebab ini tergantung pada masing-masing calon hakim itu, apakah mereka bisa menjawab pertanyaan dalam seleksi tertulis ataukah tidak,” kata Jaja saat ditanyai tentang sejumlah hakim senior yang gagal dalam ujian tertulis, semisal hakim Pengadilan Tinggi Medan Albertina Ho.
Perlu dibenahi
Dari kacamata berbeda, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Astriyani menilai ada yang perlu dibenahi dalam mekanisme seleksi hakim oleh KY. Utamanya dalam tahap wawancara yang kerap dinilai terlalu merendahkan calon hakim agung.
“Ada hakim-hakim karier yang bagus, dan kami dekati, tetapi akhirnya menolak untuk mendaftar lagi menjadi hakim agung setelah memiliki pengalaman wawancara di KY dan DPR,” kata Astriyani.
Pertanyaan-pertanyaan dalam tahapan wawancara dan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) di KY dan DPR yang cenderung menyudutkan membuat calon hakim agung itu enggan mencoba lagi mengikuti seleksi.
“Para peserta seleksi ini kan akan ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi, sehingga seharusnya seleksi dilakukan secara terhormat di hadapan publik, terutama di DPR,” katanya.
Selain itu, KY didorong untuk lebih mengutamakan calon-calon yang sesuai dengan profil yang mereka cari untuk dijadikan hakim agung. Untuk bisa mendorong tokoh-tokoh bagus mau mendaftar, selain peran serta masyarakat juga diperlukan modifikasi mekanisme seleksi yang dilakukan KY dan DPR. KY seharusnya juga memiliki daftar nama tokoh-tokoh hukum yang potensial menjadi hakim agung. Untuk mendorong mereka ikut seleksi, KY diharapkan berperan aktif menjemput bola, sehingga peserta seleksi menjadi lebih berkualitas.
Dalam seleksi CHA kali ini, ada delapan posisi hakim agung yang diperebutkan, yakni 1 hakim untuk kamar pidana, 1 hakim kamar agama, 2 hakim kamar militer, 3 hakim kamar perdata, dan 1 hakim kamar Tata Usaha Negara khusus pajak.