Upaya Pembenahan LP Dinilai Belum Serius
JAKARTA, KOMPAS - Upaya pembenahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, dinilai tidak dilakukan secara serius. Ombudsman RI masih menemukan tindakan diskriminatif dan tak adil dalam hal pemberian fasilitas terhadap para narapidana di LP tersebut.
Meski tidak menemukan perabotan mewah di sel narapidana, Ombudsman menemukan pemberian fasilitas yang berbeda kepada napi korupsi, yakni mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, kondisi sel mewah itu ditemukan saat ia bersama 11 asistennya berkunjung ke sel Kamis malam, (13/9/2018). Ia mengaku prihatin karena kondisi sel Novanto sangat kontras dengan sel lain.
"Dalam pandangan Ombudsman, ada indikasi tindakan tidak patut dan tindakan diskriminatif soal bangunan kamar yang dihuni para napi di LP Sukamiskin, termasuk temuan kami di kamar Pak Setya Novanto. Bukan hanya bentuk kamar, tetapi fasilitas juga berbeda. Sebaiknya, diberikan yang sama sehingga tidak ada pembedaan antarnapi," ujar Ninik saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/9/2018).
Berdasarkan temuan ORI, sel Novanto berukuran setidaknya dua kali lebih luas dibanding sel napi lainnya. Di sel tersebut, ORI menemukan kloset duduk, exhaust fan, rak buku, hingga meja kerja lengkap dengan kursinya. Sementara itu, kondisi sel-sel napi yang lain hanya muat untuk satu kasur dan kloset jongkok. Kloset itu pun berhimpitan dengan kasur.
Terkait temuannya itu, Ninik mengaku sudah berkoordinasi dengan Kepala LP Sukamiskin dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) agar dilakukan pembenahan yang patut. Ninik juga meminta Menkumham Yasonna Laoly serius mendalami persoalan itu apabila ada praktik pungutan atau korupsi sehingga memunculkan tindakan diskriminatif antarnapi.
"Karena kalau ada pungutan, korupsi, itu kan tidak bisa kami membuktikan langsung saat sidak. Itu terasa, tetapi sulit pembuktiannya," kata Ninik.
Persoalan laten
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai pemerintah belum serius membenahi pemberian fasilitas mewah kepada napi yang memiliki uang di LP. Penyalahgunaan LP oleh napi yang beruang dianggap bahaya laten yang selalu berulang.
"Tidak ada upaya penindakan serius untuk bisa menangani masalah ini. Ini menunjukkan tidak ada reformasi serius di LP kita, meski kepala LP-nya dulu juga pernah terkena OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK. Ini tidak hanya korupsi, tetapi juga orang bisa transaksi narkotika," tuturnya.
Sebelumnya, pada 20-21 Juli lalu, KPK menangkap dan menetapkan Kepala LP Sukamiskin Wahid Husen bersama stafnya, Hendry Saputra, sebagai tersangka suap pemberian fasilitas mewah kepada napinya. Suap itu diduga berasal dari terpidana korupsi perkara pengadaan alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut, Fahmi Darmawansyah, dan napi pidana umum, Andri Rahmat. Hingga saat ini, KPK masih menyelidiki kasus tersebut.
"Perbaikan hanya dilakukan secara insidentil saja, akar permasalahannya tidak diperbaiki. Mengganti kepala LP tidak menjadi solusi ampuh untuk terjadinya praktek diskriminatif. Saya meyakini praktik ini tidak hanya terjadi di Sukamiskin saja tapi banyak LP lain," ujar Donal.
Abai
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, kejadian serupa akan terus berulang apabila penanggung jawab, baik dari Menkumham hingga jajaran bawahan, tidak konsisten melakukan pembenahan.
"Ini karena yang bertanggung jawab mulai dari pucuk pimpinan sampai dengan paling bawah abai akan keadilan dan conflict. Kok ada orang rumah binaannya sama, tetapi fasilitasnya beda. Itu tak adil namanya," tegas Saut.
Saut tidak memungkiri bahwa pihaknya akan terus mendalami fenomena itu apabila memang terjadi tindak pidana korupsi. "Nanti kami juga akan lihat, sudah sejauh mana evaluasi Deputi Pencegahan KPK diimplementasikan," ujarnya.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami menjelaskan, upaya pembenahan itu sudah ada, yakni ruangan untuk besukan, ruangan untuk pembinaan, dan ruangan untuk perawatan kesehatan. Barang-barang mewah pun sudah dikeluarkan.
"Sekarang pembenahan itu sedang berproses, tetapi tiba-tiba teman-teman Ombudsman masuk dengan membawa handphone, yang seharusnya tidak diizinkan. Karena tidak semudah membalikkan telapak tangan," ujarnya.
LP Sukamiskin memiliki setidaknya 556 sel/kamar yang terdiri dari tiga tipe, yakni kamar kecil, sedang, dan besar. Isi napi di LP tersebut berjumlah 430 orang. Yang menempati kamar besar berjumlah 52 orang, kamar sedang ada 41 orang, sisanya menempati kamar kecil.
"Kamar seperti itu (sel Novanto) jadi ada 52 kamar. Kamar bisa seluas itu karena Belanda sudah membangun seperti itu," ujarnya, sembari menjelaskan lapas itu sudah dibangun sejak 1912.
Tak ada pelanggaran
Pembagian kamar pun, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ada di tangan Kepala LP. Pembagian kamar itu dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
"Kalau Kepala LP beri pertimbangan, itu ada mandat dari UU dan dibahas di internal LP. Jadi tidak ada salahnya. Salahnya kalau mereka menerima upeti, melakukan penyimpangan dan diskriminasi. Tetapi, sampai dengan hari ini, saya masih meyakini, Kepala LP dan seluruh jajarannya yang sudah diperbarui tidak ada pelanggaran," kata Utami.
Utami juga terbuka apabila pemerintah pusat ingin membongkar bangunan itu agar ada pemerataan sel antarnapi. Namun, menurut dia, upaya itu sulit terlaksana karena anggaran yang terbatas. Lebih baik, menurut Utami, pemerintah fokus membangun LP lain yang kelebihan penghuni.
Kapasitas LP dan rumah tahanan di seluruh Indonesia hanya mampu menampung 124.900 orang. Namun, saat ini jumlah penghuni LP dan rutan itu mencapai 250.000 orang. Ditjen Pemasyarakatan hanya memiliki anggaran Rp 5 triliun yang terbagi untuk gaji pegawai Rp 2,7 triliun dan makanan untuk napi/tahanan Rp 1,4 triliun.
"Kalau pemerintah punya anggaran, mau dibongkar itu semua, silakan saja. Tetapi, lebih baik bangun yang lain dulu. Kasian saudara-saudara kita yang himpit-himpitan," kata Utami.