Pejabat Pembina Kepegawaian Dinilai Tak Taat Hukum
Oleh
Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pejabat pembina kepegawaian tidak taat pada prosedur hukum karena membiarkan aparatur sipil negara terpidana korupsi masih aktif bekerja, bahkan mengeluarkan surat pemberhentian yang cacat hukum. Badan Kepegawaian Negara pun menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan untuk menelusuri kerugian negara dan maladministratif jabatan yang kaitannya dengan pembiaran itu. Selain itu, Komisi II DPR juga akan memanggil kementerian dan lembaga terkait agar persoalan itu segera dituntaskan.
Deputi Bidang Pengawasan dan Pegendalian Kepegawaian BKN I Nyoman Arsa mengatakan, hingga Selasa (28/8/2018) kemarin, belum ada pimpinan instansi atau PPK yang sudah menjalankan imbauan BKN untuk segera memberhentikan dengan tidak hormat ASN terpidana korupsi yang berjumlah 307 orang. Padahal, BKN telah berkali-kali mengirimkan surat peringatan kepada pimpinan instansi atau PPK itu agar segera mengeluarkan Surat Keterangan (SK) Pemberhentian ASN sesuai prosedur hukum yang berlaku.
"Itu berarti mereka tidak taat pada hukum. BKN akan tegur terus sampai dengan PPK dan pimpinan instansi menerbitkan SK Pemberhentian," ujar Nyoman di Jakarta, kemarin, seraya menegaskan bahwa pemberhentian tidak hormat itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Adapun, kasus ini diungkap oleh BKN sejak awal Agustus lalu. BKN menemukan ada 307 ASN terpidana korupsi yang belum dipecat berdasarkan laporan 14 kantor regional BKN di seluruh Indonesia.
Nyoman menjelaskan, sejauh ini, BKN memang menerima laporan ada pimpinan instansi atau PPK yang telah memberhentikan ASN terpidana korupsi di lingkungannya. Namun, SK pemberhentian itu dibuat secara tidak cermat atau cacat yuridis sehingga digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Yang dimaksud cacat yuridis adalah adanya kesalahan pencantuman pasal peraturan di SK Pemberhentian. Contoh, seharusnya dicantumkan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2015, tetapi yang tertulis Pasal 87 ayat (4) huruf d.
"Jadi ketika digugat di pengadilan, putusan pengadilan menyatakan SK tersebut batal atau tidak sah. Mereka menang dan mewajibkan pihak tergugat atau PPK untuk mencabut SK Pemberhentian dan merehabilitasi kedudukan, harkat serta martabat penggugat seperti semula," tutur Nyoman.
BKN telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk bisa tetap secara tegas memberhentikan ASN itu karena dapat memunculkan potensi kerugian negara yang besar, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan BPK. Koordinasi itu untuk menelusuri kerugian negara dan maladministratif jabatan yang kaitannya dengan pembiaran itu.
Oleh karena itu, Nyoman mengatakan, BKN telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk bisa tetap secara tegas memberhentikan ASN itu karena dapat memunculkan potensi kerugian negara yang besar, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan BPK. Koordinasi itu untuk menelusuri kerugian negara dan maladministratif jabatan yang kaitannya dengan pembiaran itu.
"BKN dapat dibantu menjadikan temuan audit BPK dan KPK terhadap PPK yang tidak menerbitkan SK Pemberhentian tidak dengan hormat PNS yang dihukum penjar atau kurungan karena melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan atau tindak pidana korupsi," ujarnya.
Dipertanyakan
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo juga menegaskan, PPK harus segera memberhentikan ASN terpidana korupsi itu jika memang tidak ingin terlibat terlalu jauh atas dugaan tindak pidana lain, apalagi ASN itu masih menerima gaji. Menurut Arif, pemberhentian ASN sudah jelas diatur dalam UU ASN.
"Gaji bisa tidak diberikan apabila sudah ada keputusan dan ketetapan pemberhentian sebagai ASN. Untuk itu perlu diingatkan kepada PPK dan KASN untuk segera menindaklanjuti sekaligus memastikan pelaksanaan UU berikut reformasi birokrasi secara efektif," ujar Arif.
Arif juga mempertanyakan koordinasi antar-kementerian yang menyebabkan penuntasan ASN terpidana korupsi itu terus berlarut. Ada dua kementerian yang dimaksud, yakni Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
"Intensitas koordinasi, peran dan fungsi masing-masing kementerian itu patut dipertanyakan. Komisi akan segera menindaklanjuti untuk rapat mengenai reformasi birokrasi dari masalah tersebut," kata Arif.
Selain itu, Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Irham Dilmy menilai, ASN terpidana korupsi yang masih aktif bekerja murni merupakan kelalaian dan pembiaran PPK. Menurut dia, Kemendagri sebagai pembina daerah harus tegas memberikan arahan kepada PPK untuk segera menindaklanjuti imbauan BKN itu.
"Kemendagri mempunyai kewenangan dan bisa menerapkan beberapa pasal yang menyebutkan bahwa PPK bersalah dengan tidak memberhentikan mereka," tutur Irham.
Irham juga menegaskan, penghentian ASN terpidana korupsi itu penting sebagai upaya memangkas kerugian negara. "Jangan sampai berlarut karena mereka terus menerima gaji dan jelas menimbulkan kerugian negara dan potensi kerugian negara," katanya.