JAKARTA, KOMPAS — Pancasila tidak hanya mengatur tentang ketatanegaraan, tetapi juga cita-cita bangsa Indonesia, yaitu bangsa yang berdaulat. Guna mewujudkan bangsa yang berdaulat, setidaknya setiap individu bisa mengembangkan tiga modal, yaitu spiritual, sosial, dan manusia.
Penulis buku Indonesian Dream, Elwin Tobing, dalam acara peluncuran bukunya di Perpustakaan Nasional Jakarta, Senin (20/8/2018), menjelaskan, saat ini masyarakat sedang kehilangan makna tentang Pancasila. Pancasila dipandang sebagai suatu hal yang abu-abu dan hanya sebagai wasit.
”Ada yang mencoba mempertahankan kita ini bersatu. Kelemahannya adalah hanya menawarkan semacam slogan, seperti NKRI atau mati dan rumah bersama Indonesia. Lalu bagaimana setelah itu,” ungkap Elwin.
Selain itu, menurut Elwin, Pancasila juga hanya dianggap sebagai dasar negara. Akhirnya saat ini orang sibuk dengan kelembagaan dan tataran negara. Dengan begitu, Pancasila kurang menyentuh secara personal.
”Jika sesuatu yang berkembang adalah Pancasila sebagai dasar negara, kita tidak dapat inti sari yang bisa menyatukan kita dengan masa depan,” kata Elwin.
Di dalam buku yang ia tulis, Elwin mencoba merevitalisasi bahwa Pancasila adalah sebuah cita-cita menjadi manusia yang merdeka, berkeadilan, dan berpengetahuan. Menurut Elwin, penting membentuk karakter tersebut agar bisa mewujudkan bangsa yang berdaulat.
Elwin menjelaskan, setidaknya ada tiga modal yang harus dimiliki bangsa Indonesia guna menjadi bangsa yang berdaulat. Modal spritual penting untuk merelasikan antara manusia dan penciptanya. Dengan begitu, manusia juga akan mencintai sesama manusia. Selain itu, modal sosial juga penting dikembangkan.
”Bangsa yang maju dibangun dengan kerja sama dan modal sosial yang kuat. Berdasarkan beberapa survei, modal sosial khususnya tingkat kepercayaan antarmanusia sangat rendah,” kata Elwin.
Menurut Elwin, membangun modal sosial diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan dan kerja sama di tengah masyarakat. Harus ada sebuah forum bagi masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain.
”Di setiap kabupaten kota seharusnya ada pusat kegiatan dan pembelajaran masyarakat. Tempatnya harus elegan. Di situlah interkasi antarmasyarakat terjadi.”
Elwin mengatakan, yang terakhir adalah modal manusia yang bisa membentuk manusia berpengetahuan. Harus ada kemauan belajar yang luar biasa pada generasi saat ini di Indonesia.
”Perpaduan ketiga modal tadi akan membentuk manusia yang mencintai sesama, bekerja sama dan adil, serta memiliki kapabilitas,” kata Elwin.
Kesepakatan bersama
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago, mengatakan, salah satu upaya untuk merumuskan cita-cita Indonesia tersebut saat ini sudah coba dijelaskan secara tekstual dalam buku Indonesian Dream.
”Kita harus menuju suatu kesepakatan tentang cita-cita Indonesia yang tidak hanya menjadi klaim satu golongan atau kalangan. Itulah yang kita belum punya,” kata Andrinof.
Andrinof menambahkan, Indonesia saat ini harus berkaca pada Amerika pada abad ke-18. Saat ini Indonesia sedang berproses dan menghadapi tantangan-tantangan. Harus ada bingkai yang kuat untuk memetakan persoalan yang permanen di negeri ini.
”Dari situ mungkin kita bisa melahirkan cita-cita Indonesia dan mungkin saja punya unsur yang berbeda dengan negara lain,” kata Andrinof.
Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi Muhammad AS Hikam mengatakan, buku Indonesian Dream bisa akan menjadi Indonesian Nightmare jika tidak diperhatikan. Misalnya mengenai pendidikan di Indonesia yang dari segi statistik dan kualitas memiliki mutu yang masih rendah.
”Ada sesuatu yang sangat ironis bahwa Indonesia memiliki kualitas sekolah dasar yang paling rendah di Asia Tenggara bahkan dibandingkan Vietnam,” ungkap Hikam. (FAJAR RAMADHAN)