Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden resmi mendaftar untuk mengikuti Pemilu 2019 ke Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Jumat (10/8/2018). Pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin mendaftar terlebih dahulu, pukul 10.00. Pukul 13.30, giliran pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno tiba untuk mendaftarkan diri ke KPU.
Kehadiran kedua pasangan tersebut cukup efektif meredakan drama panjang penetapan pasangan capres-cawapres yang menyita perhatian publik dua pekan terakhir. Kedua pasangan hadir dengan keyakinan bahwa mereka akan meraih suara tertinggi dalam kontestasi Pemilu 2019.
Agenda yang beredar di kalangan wartawan pada Jumat itu semula ada informasi Jokowi-Ma’ruf Amin akan datang ke KPU pukul 09.00 atau 10.00. Sesudah mendaftar, pasangan yang diusung koalisi sembilan partai politik itu dijadwalkan menunaikan shalat Jumat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Pasangan Prabowo-Sandi dijadwalkan menunaikan shalat Jumat di Masjid Istiqlal, baru kemudian berangkat menuju Gedung KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.
Belakangan, agenda itu berubah. Jokowi menunaikan shalat Jumat di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Adapun Ma’ruf Amin menjadi khatib shalat Jumat di Masjid Istiqlal.
Prabowo-Sandi pun melakukan shalat Jumat di Masjid Sunda Kelapa. Wartawan tersebar di kedua masjid untuk mengabadikan momen capres-cawapres menunaikan shalat Jumat sesudah dan sebelum mendaftar ke KPU.
Momen shalat Jumat itu sebenarnya hal yang biasa saja. Namun, teori semiotik Italia, Umberto Eco, mengatakan, tanda atau simbol tidak hidup di ruang hampa. Tanda bisa bermakna apa saja, lebih-lebih dalam politik.
Dalam politik yang sarat dengan kepentingan dan strategi pencitraan, kemunculan tanda apa pun bisa bermakna macam-macam. Hal ini, antara lain, terekam dari agenda kedua pasangan calon saat akan ke KPU dan sepulang dari KPU. Tafsir terhadap simbol yang kaya makna pun bermunculan.
Para wartawan sedari pagi menanti di Masjid Sunda Kelapa. Sejumlah pendukung Prabowo hadir, seperti Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais, Komandan Komando Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono dari Partai Demokrat, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera M Sohibul Iman. Seusai shalat, pendukung Prabowo meneriakkan dukungan terhadap Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya itu.
Prabowo memakai peci dengan baju lengan panjang warna putih. Ia melambaikan tangan kepada pendukungnya. Kelompok drumband memainkan musik mengiringi Prabowo-Sandi menuju Gedung KPU.
Pagi harinya, Ma’ruf datang ke KPU mengenakan setelan khasnya, yakni bersarung hijau, jas putih, dan kain putih di pundak. Ulama yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu merupakan keturunan Syekh Nawawi Al Bantani, ulama asal Banten yang pernah menjadi imam Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi.
Ma’ruf berjalan bersama Jokowi yang mengenakan kemeja putih khasnya dengan ujung lengan digulung. Di depan kemeja Jokowi bertuliskan, ”Bersih, Merakyat, dan Kerja Nyata”. Agaknya, baru kali ini dalam sejarah Republik, seorang cawapres mendaftar ke KPU mengenakan sarung, yang sangat khas santri NU.
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, yang mengiringi Jokowi-Ma’ruf, mengatakan, pendaftaran capres-cawapres pada hari Jumat adalah kebetulan semata. Pada hari itu, setiap lelaki Muslim menunaikan shalat Jumat.
”Ini sebagai bagian dari upaya insan beragama, ketika akan memulai sesuatu diawali dengan berdoa. Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf berdoa karena ini baru permulaan. Ada atau tidak ada kontestasi ini, kalau Jumat, ya, tetap shalat Jumat, kan,” ujarnya terkekeh.
Ketua Departemen Politik PKS Pipin Sopian mengatakan, Jumat adalah hari yang baik. ”Poinnya ini hari Jumat, hari yang baik, dan sebagai Muslim, kami menunaikan kewajiban shalat Jumat,” ujarnya.
Kekhawatiran soal politisasi agama dan politik identitas, menurut Pipin, tidak perlu lagi diperbincangkan karena saat ini yang dihadapi bangsa ialah masalah ekonomi. Problem inilah yang berusaha diatasi Prabowo-Sandi. ”Soal agama, kita sudah tidak ada masalah lagi,” katanya.
Tidak sehat
Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, fenomena simbol-simbol keagamaan yang muncul dalam kontestasi politik di Indonesia mencerminkan kondisi sosiologis masyarakat saat ini.
”Norma demokrasi yang berlaku di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain. Di negara maju, membawa-bawa agama dalam kontestasi demokrasi dianggap kurang baik. Di sini, agama merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan yang lebih dalam,” tuturnya.
Hamdi menilai, ekspresi keagamaan dalam kontestasi politik dengan takaran tertentu sebagai sesuatu yang wajar. Meski dalam bentuknya yang lebih maju, lanjutnya, diharapkan demokrasi di Indonesia akan berkembang menjadi lebih rasional sehingga agama tidak sampai dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Jika agama dijadikan alat, demokrasi menjadi tak sehat lagi.
Terlepas apa pun simbol yang mereka munculkan, kedewasaan dan kematangan rakyat sangat penting dalam kontestasi politik. Persatuan bangsa harus tetap yang utama. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)