JAKARTA, KOMPAS – Potensi ancaman serangan kejahatan siber pada seluruh tahapan Pemilu 2019 mulai diantisipasi. Di sisi lain, pemilih muda diharapkan mengutamakan rasionalitas agar mampu membentengi diri dari berbagai propaganda yang disebarkan figur dan partai politik selama masa kampanye.
Juru bicara Badan Siber dan Sandi Negara Anton Setiawan menuturkan, pihaknya telah melakukan indentifikasi secara berkala terhadap potensi kerawanan siber dalam tahapan Pemilu 2019. Merujuk pada gangguan keamanan siber pada Pilkada 2018 dan pemilu di sejumlah negara, Anton menekankan, BSSN telah berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu untuk memperkuat proteksi terhadap sistem yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
“Kami terus melakukan monitoring (pengawasan) terhadap berjalannya sistem teknologi informasi penyelenggara pemilu. Selain itu, kami juga akan merespon terhadap insiden apabila terjadi serangan,” ujar Anton yang dihubungi Minggu, (22/7/2018), di Jakarta.
Lebih lanjut, Anton mengungkapkan, jenis serangan siber yang mengancam penyelenggara pemilu, yaitu serangan DDoS (Distributed Denial of Service) yang menyerang komputer atau server di dalam jaringan internet yang menargetkan sumber daya komputer, sehingga mematikan operasi komputer. Selain itu, serangan infiltrasi yang dilakukan peretas untuk menyerang atau menganggu data di dalam komputer.
Seperti diketahui, jenis serangan siber itu terbukti telah terjadi pada pemilu di Ukraina pada 2014. Serangan terhadap layanan internet penyelenggara pemilu oleh kelompok perentas terbukti dapat memengaruhi hasil pemilu Ukraina.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto memastikan, Direktorat Tindak Pidana Siber telah gencar melakukan patroli siber untuk mengantisipasi berbagai serangan siber, sekaligus untuk mencegah penyebaran konten negatif berupa hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Langkah pencegahan itu, tambahnya, juga dimaksudkan untuk cepat melakukan tindakan ketika serangan siber terjadi.
Pemilih milenial
Secara terpisah, pendiri Kelas Muda Digital (Kemudi), Afra Suci Ramadhon, menilai, kejahatan siber juga berpotensi menargetkan pemilih pemula yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berinteraksi di dunia maya. Hal itu, tambahnya, terjadi karena paparan informasi di media sosial dan kegemaran generasi muda melakukan segala sesuatu di internet.
Menurut Afra, berbagai kejahatan siber yang dapat mengancam pemilih milenial ialah kehadiran berita bohong yang cepat disebar melalui media sosial dan layanan pesan instan, seperti WhatsApp dan Telegram. Kemudian, konten hoaks berbasis teori atau cerita interaksi yang dikemas secara visual dan video. Terakhir, ancaman persekusi atau perundungan dari warganet lain ketika mereka mengekspresikan pilihan politik.
“Karena itu, generasi muda perlu berpikir kritis dan sedikit skeptis dalam membaca dan memahami konten. Mereka harus memiliki rasa ingin tahu tinggi dan termotivasi untuk mencari sumber berita yang valid,” kata Afra.
CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengatakan, perilaku milenial Indonesia, salah satunya, kecanduan internet. Ia menambahkan, delapan dari sepuluh generasi muda Indonesia terkoneksi internet dan menghabiskan rata-rata tujuh jam sehari untuk mengonsumsi dunia maya.
Namun, lanjut Hasanuddin, upaya figur dan partai politik untuk aktif menarik minat generasi milenial di media sosial tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kesadaran mereka berpolitik. “Wacana dan perdebatan di medsos belum tentu berpengaruh untuk mendorong generasi muda memilih ke tempat pemungutan suara. Sebab, upaya itu cenderung hanya menimbulkan kesadaran dan keriuhan di dunia maya,” tuturnya.