JAKARTA, KOMPAS - Dua dari 13 orang yang pada Jumat (13/7/2018) lalu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Sabtu (14/7). Mereka terkait kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau 1.
Eni diduga menerima dana Rp 4,8 miliar dari Budisutrisno, pemegang saham Blackgold Natural Resources. Pemberian itu diduga untuk memuluskan penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau 1 yang jadi bagian dari proyek 35.000 megawatt yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Eni, selaku penerima suap, dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b serta Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara Johannes Budisutrisno Kotjo, selaku pemberi suap, dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor.
Blackgold Natural Resources adalah satu dari perusahaan yang tergabung dalam konsorsium yang akan membangun proyek itu. Selain Blackgold, konsorsium itu juga terdiri dari PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT PLN Batubara, dan China Huadian Engineering. Hasil penyidikan sementara, dana Rp 4,8 miliar itu hanya berasal dari Blackgold.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Sabtu, di Jakarta, mengatakan, ada commitment fee yang dijanjikan kepada Eni senilai 2,5 persen dari nilai total proyek. Eni telah menerima pemberian sebanyak empat kali. Pemberian pertama senilai Rp 2 miliar pada Desember 2017, lalu Rp 2 miliar pada Maret 2018, dan Rp 300 juta pada Juni 2018.
Uang Rp 500 juta yang ditemukan KPK pada operasi tangkap tangan Jumat lalu adalah pemberian keempat dari Blackgold melalui anggota staf sekaligus keponakan Eni, Tahta Maharaya.
”Terkait uang ini dipakai untuk apa saja sedang dikembangkan oleh KPK,” kata Basaria.
Soal dugaan keterkaitan kasus ini dengan PT PLN, ia memastikan, KPK masih menyelidikinya. ”Apakah PLN menerima dana atau tidak, termasuk pihak lain yang menerima aliran dana, sedang kami selidiki,” ujarnya.
Dari 13 orang yang ditangkap KPK terdapat suami Eni, M Al Khadziq, yang baru saja memenangi pemilihan bupati Temanggung, Jawa Tengah, Juni lalu.
Terkait dugaan ada aliran dana untuk keperluan pilkada, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, hal itu akan didalami. "Belum sampai sana, tapi bukan berarti tidak mungkin," ujar Febri.
Dibantah
Sementara itu, selama masa kampanye pemilihan bupati Temanggung dari 15 Februari hingga 23 Juni 2018, pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati nomor urut 3, M Al Khadziq-Heri Ibnu Wibowo menghabiskan dana kampanye sekitar Rp 500 juta. Pasangan mempopulerkan diri dengan nama paslon Hadik-Bowo. Khadziq atau yang akrab disapa Hadik.
Ketua Tim Kampanye Hadik-Bowo, Purwo Edi Suhodo, mengatakan, dana kampanye tersebut terkumpul dari masing-masing pribadi, Khadziq dan Bowo. Namun, dia mengaku tidak tahu menahu perihal sumber dana tersebut berasal dari mana.
Dia pun juga tidak bisa berkomentar lebih lanjut apakah kasus suap yang membelit Eni, juga mengalirkan dana untuk kampanye atau tidak.
“Cuma KPK yang bisa memastikan apakah kasus yang dihadapi Bu Eni terkait kampanye pemilihan bupati atau tidak,” ujarnya, Sabtu (14/7/2018).
Kendati demikian, Suhodo meyakini bahwa baik Hadik maupun Bowo memiliki kemampuan finansial yang kuat dan sanggup membiayai kampanye dengan uang pribadi mereka, tanpa harus mencari dari sumber-sumber lain.
Selain itu, kampanye selama sekitar empat empat bulan itu juga tidak menelan biaya besar, karena mereka tidak menggelar kampanye terbuka dan massal. Kampanye dilakukan cukup dengan mengandalkan 16.500 relawan, yang bertugas menjaring dukungan untuk Hadik-Bowo, mulai dari tingkat RT. Oleh karena itu, sebagian besar dana kampanye, akhirnya hanya digunakan untuk pembekalan relawan, serta untuk pembuatan alat peraga serta bahan kampanye.
Ketua Dewan Penasihat DPD II Partai Golkar Kabupaten Temanggung, Tunggul Purnomo, mengatakan, pihaknya masih belum percaya Eni bersalah dan terlibat dalam kasus suap.
“Kami tidak mau berkomentar banyak dan masih menunggu pengumuman resmi dari KPK terkait status Eni dalam kasus suap tersebut,” ujarnya.
Tunggul mengatakan, pihaknya tidak mempercayai keterlibatan Eni, karena selama ini Eni dikenal memiliki pribadi yang baik. Eni sangat ringan tangan, mudah tergerak hatinya, dan tidak ragu untuk segera membantu orang lain, bahkan yang belum dikenalnya sekalipun.