JAKARTA, KOMPAS – Salah satu anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, Salahuddin Wahid, mengajukan pengunduran diri dengan alasan kesehatan. Dengan kondisi tersebut, Dewan Etik MK dalam titik terlemah sebab praktis hanya tersisa satu anggota Dewan Etik MK yang dalam kondisi sehat, yakni Bintan Regen Saragih. Ketua Dewan Etik MK Roestandi mengalami gejala stroke dan saat ini masih dalam tahap pemulihan kesehatan.
Penguatan Dewan Etik MK menjadi hal yang harus segera dilakukan mengingat peran penting Dewan Etik dalam mengawal dan menjaga hakim konstitusi. Momen pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2018, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Presiden pada 2019 juga akan memerlukan pengawasan ketat. MK diperkirakan akan menerima sejumlah perkara sengketa hasil Pilkada maupun sengketa hasil Pemilu yang rentan diwarnai permainan uang atau jual-beli perkara.
Penguatan Dewan Etik MK menjadi hal yang harus segera dilakukan mengingat peran penting Dewan Etik dalam mengawal dan menjaga hakim konstitusi.
Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah, Selasa (8/5/2018) di Jakarta membenarkan kondisi dua anggota Dewan Etik yang sedang sakit tersebut. Pihaknya juga menaruh perhatian besar kepada kondisi Dewan Etik setelah Gus Sholah mengajukan pengunduran diri. Kesekretariatan Jenderal MK dalam posisi menunggu kesepakatan internal di antara anggota Dewan Etik terlebih dulu sebelum menyampaikan laporan kepada Ketua MK Anwar Usman.
“Gus Sholah memang sudah mengajukan surat pengunduran diri, tetapi saya belum bisa meneruskan surat itu secara resmi kepada Ketua MK, karena masih menunggu sikap Dewan Etik terlebih dulu mengenai permintaan mundur itu. Praktis saat ini hanya Prof Bintan yang aktif. Beliau akan berbicara terlebih dulu dengan Ketua Dewan Etik, Pak Roestandi, yang kini dalam masa pemulihan di Bandung,” ujarnya.
Bila Roestandi menyetujui pengunduran diri tersebut dan mengusulkan adanya penggantian anggota, Dewan Etik akan membuat surat resmi kepada sekjen MK. Selanjutnya, sekjen MK membuat nota dinas atau laporan kepada ketua MK. Ketua MK nantinya akan membawa laporan itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna membahasnya dengan delapan hakim konstitusi lainnya. Hasil RPH itulah yang akan ditindaklanjuti oleh Kesekretariatan Jenderal MK.
“Apakah akan ada penggantian anggota dewan etik atau bagaimana, itu tergantung pada hasil RPH. Kami hanya mengikuti putusan RPH tersebut. Yang pasti, tentu tidak mungkin memaksakan seseorang yang sedang sakit untuk mengambil putusan dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Etik,” kata Guntur.
Kondisi Roestandi, menurut Guntur, berangsur-angsur pulih. Mantan hakim MK itu telah bisa berbicara dengan baik, dan hanya mengeluhkan tangan dan kakinya yang sulit digerakkan. Dokter menyatakan Roestandi mengalami gejala stroke. “Kami berharap Pak Roestandi pulih, dan segera ada pembicaraan antara beliau dengan Prof Bintan mengenai pengunduran diri Gus Sholah. Dengan begitu, MK bisa segera mengambil sikap,” ujarnya.
Tahun 2018, Dewan Etik MK menangani sejumlah perkara dugaan pelanggaran etik hakim. Salah satunya ialah penjatuhan sanksi etik ringan kepada mantan Ketua MK Arief Hidayat yang bertemu tanpa undangan resmi dengan pimpinan Komisi III DPR. Satu laporan lainnya terhadap Arief, yakni yang disampaikan oleh Madrasah Antikorupsi Pemuda Muhammadiyah, tidak ditindaklanjuti. Adapun terhadap laporan yang disampaikan oleh peneliti MK Abdul Ghoffar, Dewan Etik menyatakan laporan tidak ditindaklanjuti karena pelapor tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Laporan lainnya, yakni yang disampaikan oleh Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), ditindaklanjuti dan Arief dinyatakan tidak terbukti bersalah.
Koordinator Program PBHI Julius Ibrani mengatakan, pihaknya menerima kepastian putusan Dewan Etik itu pada minggu kedua April lalu. Pihaknya kecewa dengan putusan tersebut karena dinilai tidak logis. Arief ketika itu dilaporkan karena mengirim sebuah komentar di kelompok percakapan (grup WA) yang isinya dinilai menyudutkan hakim-hakim lainnya dalam putusan uji materi perluasan makna zina dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Publik berharap dewan etik memberikan alasan logis. Namun, dalam putusan kali ini, kami merasa alasan yang dikemukakan dewan etik sama sekali jauh dari harapan,” kata Julius.
Mengawal hakim
Bivitri Susanti, pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, menuturkan, peran Dewan Etik amat penting dalam menjaga marwah dan kehormatan hakim MK. Bila saat ini terdapat kelemahan di Dewan Etik, semestinya MK bertindak cepat merespons hal itu.
Komposisi Dewan Etik yang terdiri atas tiga orang dan diangkat oleh Ketua MK berdasarkan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik, menurut Bivitri, terbukti kurang kuat dalam mengawal perjalanan hakim MK. Terdapat sejumlah kelemahan dalam Dewan Etik yang berada di internal MK dan orang-orangnya diangkat oleh Ketua MK.
“Mereka tidak bebas dalam mengawasi hakim. Yang paling dirugikan adalah publik selaku pelapor, karena putusan Dewan Etik yang dinilai tidak mampu menjaga marwah hakim MK,” katanya.
Idealnya, Dewan Etik MK ada di luar MK, atau peran dan fungsinya diemban lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial (KY). Namun, peran pengawasan KY itu telah dianulir melalui putusan MK sendiri.
“Untuk memperkuat Dewan Etik, saat ini bisa dilakukan dengan mengubah UU MK ,dan mengatur lebih detil serta kuat terhadap posisi dan peran Dewan Etik. Bila Dewan Etik di MK diberi peran seperti Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang mengawasi KPU, itu tentu sangat baik,” katanya.